Sesampainya di swalayan, aku mencari musala terlebih dahulu untuk melaksanakan salat Asar kemudian membeli bahan untuk membuat sayur asem, ikan teri dengan kacang, sambal, tahu, tempe, dan lalapan. Tak kusangka dia menyukai makanan seperti ini.
Selesai membeli, tanpa membuang waktu, aku langsung keluar dari swalayan dan berjalan menuju mobil, masuk ke dalam, menancap pedal gas menuju rumah. Aku merasa suasana hatiku riang karena akan menghabiskan waktu lebih banyak bersamanya.
Setibanya di rumah, aku mengetuk pintu. Dia membuka pintunya, lalu membantuku membawa bahan makanan yang banyak itu ke dapur. Dia bertanya kepadaku kenapa aku membeli bahan makanan yang banyak. Aku menjawab bahwa itu untuk keperluan makan kami berdua untuk sebulan.
Aku mulai menata bahan makanan untuk hari ini, membersihkannya, dan memotong-motongnya. Namun, di tengah pekerjaanku, dia menyela dan memintaku untuk membagi bahannya jadi dua karena dia ingin membantuku. Awalnya, aku menolak. Namun, dia bersikeras mengatakan kepadaku kalau dia sudah bisa membuat masakannya sendiri selama tinggal di kos-kosan. Pada akhirnya, aku mengalah dan menerima bantuannya.
Setelah selesai memotong, kami mulai memasak. Aku memintanya untuk mencoba membuat sayur asem dengan arahanku. Dia mulai merebus sayurannya. Sambil menunggu sayurnya layu dan melunak, aku mulai membuat sambal untuk lalapan. Perhatiannya kadang teralih kepadaku yang dengan tekun mengulek campuran cabai, bawang, dan bumbu lainnya untuk sambal. Mungkin dia sedang memperhatikan cara mengulek sambal yang baik karena dia pernah bercerita kalau dia membuat ayam geprek untuk teman-temannya. Hanya saja dia merasa gagal membuat sambalnya walau kata teman-temannya rasanya enak.
Sayur yang direbus kemudian dia tusuk dengan ujung pisau, memeriksanya apakah sudah lunak atau belum. Setelah yakin sudah lunak, dia mulai memasukkan bumbu-bumbunya sesuai arahanku. Setelah aromanya tercium, dia mematikan kompornya. Aku memintanya untuk menunggu agar mendingin sedikit.
Aku mengangkat panci dari kompor, memindahkannya ke tempat lain, lalu menaruh wajan di atas kompor, memanaskan wajan, dan mulai memasak sambal. Setelah dirasa cukup matang, kuangkat dan kupindahkan ke piring berukuran kecil. Aku memintanya untuk menata sayur asem, sambal, dan lalapan yang sudah kami buat, sedangkan aku membersihkan wajan lalu menggunakannya lagi untuk menggoreng ikan asin dan kacang sampai matang.
Beberapa menit berlalu, aku menaruh ikan asin di atas piring dan mengambil satu bakul nasi hangat untuk kami berdua, membawanya ke ruang makan, dan menaruhnya di atas meja.
“Alhamdulillah, udah selesai. Ayo, Hare Hoogheid, dimakan.”
“Makasih, Tuan Wisnu,” jawabnya lalu mengambil nasi dan lauk-pauknya.
Aku hanya tersenyum memperhatikan tingkahnya sembari mengambil jatah makananku.