Aku terbangun oleh suara alarm pukul 03.00 dini hari. Seperti manusia kebanyakan masa kini, hal pertama yang kuperiksa adalah smartphone. Aku membuka layar kunci smartphone kemudian melihat banyak pesan melalui media sosial, juga panggilan telepon masuk yang tidak kujawab dari Chandra.
Aku membuka isi pesannya. Dia bilang dirinya diteror melalui telepon berkali-kali. Saat pertama kali menjawab panggilan teleponnya, hal pertama yang dia dengar adalah suara dengusan dan tawa cekikikan yang kemudian berubah menjadi berat.
Dia mengirimkan kepadaku screenshot panggilan terornya yang buru-buru ku-download beserta rekaman voice chat yang dia kirim. Aku kembali membaca dan mendengar isi pesannya. Dia bilang mungkin nyawa kami terancam. Dia juga meminta tolong kepadaku untuk segera melakukan pemindaian pada berkas dokumen catatan dan bukti yang ada untuk di persidangan nanti lalu mengirimkan file-nya pada kembaran Ludwig beserta bukti kedua video palsu itu, kemudian mencari alamat tempat percetakan 24 jam yang jaraknya paling dekat dengan penginapan.
Setelah melakukan semua itu dengan tergesa-gesa, aku langsung keluar dari penginapanku. Aku mematikan smartphone-ku untuk berjaga-jaga agar keberadaanku tidak dapat dilacak lalu mencari moda transportasi taksi konvensional di jalan raya yang membutuhkan waktu 30 menit untuk menemukannya.
Aku meminta pada sopir untuk menancapkan gasnya lebih keras supaya aku sampai tujuan lebih cepat. Sampai di tujuan, aku meminta sopir menunggu dan memberinya upah tambahan agar dia mau menungguku. Aku sebenarnya tidak menyukai ini, tetapi tidak ada pilihan lain. Ini bukan pertama kalinya kami berada dalam kondisi hidup atau mati, tetapi kurasa aku sudah masuk dalam daftar incaran orang-orang neo-NSB bajingan itu.