Mentari sudah terlihat di ufuk timur cakrawala ketika aku sampai di kantor Chandra menggunakan taksi yang kucari secara manual. Aku mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Setelah berlama-lama menunggu sambil beberapa kali mengetuk dan memanggilnya, aku mencoba cara yang sama, memanggilnya melalui telepon dan menghubunginya melalui media sosial, tetapi masih belum ada jawaban.
Pada papan yang terpasang di tiang depan pagar kantornya tertulis bahwa jam kerja mulai pukul 9 pagi, sedangkan sekarang baru pukul 6 pagi. Ini membuatku memutuskan untuk pergi menuju convenient store terdekat untuk mengambil sarapan dengan cepat sembari ngobrol dengan Lodewijk, kembaran Ludwig, mengenai keadaan yang kami berdua hadapi. Aku bernegosiasi dengannya agar dia mau mengambil kasus ini kalau terjadi apa-apa dengan kami. Dia cukup menyebalkan dan keras kepala mengenai alasan keengganannya menghadapi kembarannya sendiri.
Atas dasar rasa sayang pada kembarannya dan keinginannya untuk menghindari konflik, dia selalu menolak untuk mengambil kasus yang mengharuskan dia menghadapi Ludwig. Walaupun, sebenarnya sering kali secara tidak sengaja mereka berdua saling adu argumen melawan satu sama lain di arena persidangan.
Hanya setelah aku menggunakan argumen seorang muslim memiliki kewajiban untuk membela yang hak dan melawan yang batil, dia akhirnya menerima tawaranku untuk mengambil kasus ini jika sesuatu yang buruk terjadi pada kami berdua. Maklum, Lodewijk seorang mualaf. Dia baru menjadi muslim selama dua tahun sehingga ada beberapa hal yang belum terbiasa dia lakukan. Terlebih, tipikal orang Belanda adalah orang-orang yang cenderung individualis dalam kehidupan sehari-hari dan masa bodoh terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitar.
Percakapan yang kami berdua lakukan menghabiskan waktu satu setengah jam. Berhubung Lodewijk juga orang yang cukup lelet merespons pesan di media sosial akibat sikap masa bodohnya, namun setidaknya itu menghilangkan sedikit kegelisahan yang kualami dan membuatku tidak terlalu merasakan perputaran waktu yang terjadi.
Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Aku kembali ke kantor Chandra menggunakan cara yang sama seperti sebelumnya. Sampai di sana, aku mengetuk-ngetuk pintunya, tetapi masih tidak ada jawaban, bahkan setelah aku memanggil namanya berulang-ulang. Ini buruk, sangat buruk. Aku tidak mau melaporkan ini pada polisi karena sejak sidang kemarin, aku tidak bisa memercayai mereka.
Ah, iya, mereka mungkin tidak akan mendengarku, tetapi mereka akan mendengar Sofia.
Aku segera membuka smartphone-ku untuk menghubungi Sofia dan menjelaskan keadaan yang sedang terjadi. Dia memintaku untuk menunggu di convenient store tempatku menyarap tadi. Baginya, di sana banyak orang yang bisa menjadi saksi mata yang dapat menghalangi orang atau kelompok yang mengincar kami melancarkan aksi kejahatan mereka, dibanding aku menunggu di kompleks perumahan tempat kantor Chandra yang sepi dari pandangan publik.