Langit Bandung sore itu tampak muram. Awan kelabu menggantung rendah, seolah menekan seluruh bangunan kampus Universitas Nusantara dengan berat yang tak terlihat. Dari jendela ruang kelas di lantai dua Fakultas Psikologi, Celine Ramadhani menatap kosong keluar. Tangannya sibuk merapikan buku catatan, tapi matanya hanya tertuju pada rintik hujan yang mulai membasahi kaca.
“Akhirnya hujan lagi,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.
Celine memang punya kebiasaan kecil: selalu terpesona setiap kali hujan turun. Ada sesuatu dari suara rintik yang menenangkan, tapi sekaligus membuat dadanya terasa sesak. Ia sendiri tidak pernah benar-benar mengerti alasannya.
Suara kursi berderit memecah lamunannya. Beberapa teman sekelas sudah sibuk berkemas, sebagian lain menunggu reda di dalam ruangan. Hujan deras semakin rapat menutup jalan pulang, membuat beberapa mahasiswa menunda langkah keluar.
Rara Prameswari, sahabat dekat Celine, menepuk pundaknya sambil tersenyum geli.
“Cel, kamu nggak bawa payung lagi, kan?”
Celine terkekeh pelan, menutup bukunya lalu menoleh. “Kamu tau banget kelemahan aku.”
“Duh, Celine Ramadhani. Mau sampai kapan sih bergantung sama orang buat hal sepele? Nanti masuk angin lagi lho,” ujar Rara sambil menggeleng. Ia lalu berdiri dan menenteng payung lipat dari tasnya. “Aku cabut dulu ya, takut jalanan banjir.”
Celine mengangguk, meski dalam hati ia sedikit iri. Rara selalu terlihat siap dalam segala situasi. Sementara dirinya… entah mengapa, selalu saja ada yang terlupa.
Begitu Rara hilang dari pandangan, Celine kembali menatap ke luar. Hujan makin deras, menari-nari di atas atap seng kantin kampus. Mahasiswa yang nekat keluar sudah setengah basah, berlari-lari kecil dengan jaket menutupi kepala. Celine menggigit bibir bawahnya. Rumahnya memang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja mustahil ia pulang tanpa basah kuyup.
Saat itulah suara berat yang familiar terdengar di belakangnya.
“Cel!”
Celine menoleh cepat. Di ambang pintu berdiri Daffa Aryasatya, sosok yang sudah seperti bayangan dalam hidupnya. Daffa basah kuyup sebagian, jaketnya digantung di bahu, dan di tangannya sebuah jas hujan kuning sederhana. Senyumnya yang khas muncul begitu mata mereka bertemu.
“Aku tebak… kamu pasti nggak bawa apa-apa buat pulang, kan?” katanya sambil mengangkat jas hujan itu.
Celine mendesah malu. “Kenapa kamu selalu bisa baca pikiranku sih, Daf?”
“Karena aku kenal kamu dari dulu, Cel.” Daffa melangkah masuk, menyerahkan jas hujan itu padanya. “Ayo dipakai. Aku nggak mau kamu sakit cuma gara-gara hujan begini.”
Ada kehangatan aneh yang menjalar di dada Celine. Daffa memang selalu seperti itu: muncul di saat-saat paling sederhana, tapi entah bagaimana justru paling berarti. Ia menerima jas hujan itu dengan senyum kecil. “Makasih ya. Aku jadi merasa manja banget.”
Daffa terkekeh, mengacak pelan rambut Celine. “Bukannya kamu memang manja dari dulu?”
Celine berpura-pura cemberut, meski pipinya memanas. Ia tahu Daffa hanya bercanda, tapi tetap saja kata-kata itu menimbulkan degup jantung yang tak biasa.
Sebelum sempat ia membalas, ponselnya tiba-tiba bergetar di saku. Celine buru-buru merogoh dan melihat layar. Nomor tak dikenal. Ia sempat ragu, tapi akhirnya menggeser tombol hijau.
“Hallo?” suaranya sedikit gugup.
Hanya hening sebentar di seberang, lalu terdengar suara pria rendah, dalam, dan tegas.
“Kamu yang bernama Celine Ramadhani, kan?”
Celine tertegun. Suara itu asing, tapi entah kenapa langsung membuat bulu kuduknya meremang. “Iya, ini siapa ya?” tanyanya pelan.
Tidak ada jawaban. Sambungan terputus begitu saja.
Celine menatap layar dengan kening berkerut. Daffa, yang sedari tadi memperhatikan, segera mendekat. “Kenapa, Cel?”
“Entah… ada nomor asing nelpon aku. Tapi dia tiba-tiba matiin,” jawab Celine lirih, masih menatap ponselnya.
Daffa menghela napas, mengambil tasnya lalu meraih tangan Celine tanpa banyak bicara. “Udah, jangan dipikirin. Ayo pulang. Nanti malah makin basah.”
Celine menurut, meski pikirannya tak tenang. Kata-kata singkat tadi masih terngiang di telinga: “Kamu yang bernama Celine Ramadhani, kan?”
Mereka akhirnya berjalan menyusuri koridor kampus yang sepi. Lampu-lampu mulai menyala, memantul di genangan air. Aroma tanah basah bercampur dengan bau dedaunan yang tertiup angin sore.
Begitu tiba di gerbang kampus, langkah Celine terhenti.
Di seberang jalan, berdiri seorang pria dengan payung hitam. Sosoknya tinggi, tegap, dengan tatapan tajam yang seolah langsung menembus hujan. Mata mereka bertemu sekilas, cukup untuk membuat dada Celine bergetar hebat.
Daffa tidak menyadari tatapan itu, sibuk mengancingkan jaketnya. Tapi Celine tahu. Ia yakin, pria asing itu… adalah pemilik suara di telepon tadi.
Dan entah mengapa, tatapan itu terasa seperti permulaan sesuatu yang besar dan berbahaya.
Celine masih terpaku di tempatnya. Hujan menetes deras, menimbulkan percikan kecil setiap kali membentur genangan di jalan aspal depan kampus. Suara bising motor yang melintas samar-samar, tapi semua itu seolah kabur dari telinganya. Matanya tak lepas dari sosok pria dengan payung hitam di seberang jalan.
Pria itu berdiri tegak, tanpa banyak gerak. Hanya tatapannya—tajam, menusuk, dingin—yang seakan menahan langkah Celine. Ia bahkan tidak tahu kenapa tubuhnya mendadak kaku, seperti baru saja ditangkap oleh sesuatu yang tak terlihat.
“Cel?” suara Daffa menyadarkan. “Kenapa bengong? Ayo jalan.”