Pagi di Bandung selalu punya cara sendiri membuat orang enggan beranjak dari tempat tidur. Udara dingin merayap lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam. Burung-burung kecil berkicau di atap genteng, seolah menjadi alarm alami bagi setiap penghuni rumah.
Celine membuka matanya perlahan, merasa tubuhnya masih lelah. Malam tadi ia tidak tidur nyenyak, pikirannya terus dihantui pesan misterius dari nomor asing. Ia menguap panjang, menatap langit-langit kamar yang penuh tempelan catatan kuliah dan foto-foto kenangan. Salah satunya foto lama bersama Daffa ketika masih SMP, berdua tersenyum lebar sambil memegang piala lomba cerdas cermat.
Senyum tipis muncul di bibirnya. Daffa… Nama itu saja sudah bisa sedikit menenangkan.
Ponselnya bergetar di meja. Celine mengulurkan tangan dengan malas, membuka layar. Bukan pesan asing, melainkan notifikasi dari grup kelas dan sebuah chat baru dari Daffa.
Daffa: “Udah bangun belum, Cel? Jangan kesiangan. Aku tungguin depan rumah jam setengah delapan.”
Celine mendesah sambil tersenyum. “Seperti biasa…” gumamnya. Daffa memang selalu begitu, memastikan ia tak pernah terlambat.
Ia bangkit, merapikan rambut panjangnya yang berantakan, lalu menuju kamar mandi. Pancuran air dingin membuat tubuhnya sedikit segar. Sambil menyikat gigi, ia menatap bayangan sendiri di cermin. Ada lingkar hitam samar di bawah matanya bukti kurang tidur semalam.
Setelah berganti pakaian, Celine memilih blouse putih sederhana dipadukan dengan celana jeans biru muda. Ia menyampirkan cardigan abu-abu, lalu menambahkan sedikit bedak tipis. Penampilannya memang tidak terlalu berlebihan, tapi tetap rapi.
Saat keluar kamar, Bu Ratna sudah menyiapkan sarapan sederhana: nasi goreng dengan irisan telur dadar. Aroma bawang putih tumis memenuhi ruang makan.
“Pagi, Ma,” sapa Celine sambil mencium tangan ibunya.
“Pagi, sayang. Kamu kelihatan pucat, nggak apa-apa?” tanya Bu Ratna sambil memperhatikan wajah putrinya.
Celine cepat-cepat tersenyum. “Nggak kok, cuma kurang tidur aja.”
“Kuliah jangan terlalu diforsir. Jaga kesehatan.”
“Iya, Ma.”
Obrolan itu menenangkan, meski hatinya masih menyimpan rahasia tentang pesan asing semalam. Celine memilih tidak bercerita setidaknya untuk sekarang.
Suara klakson motor terdengar dari luar pagar. Celine menengok lewat jendela, mendapati Daffa sudah datang dengan jaket hitamnya, helm cadangan tergantung di setang motor.
“Celiiineee! Cepetan, nanti telat!” teriak Daffa dari luar.
Celine terkekeh, buru-buru menenteng tas ransel. “Aku berangkat dulu ya, Ma!” serunya sebelum keluar rumah.
Bu Ratna hanya menggeleng, tersenyum melihat putrinya yang bersemangat.
Begitu keluar, Celine disambut oleh Daffa yang langsung menyodorkan helm. “Lama banget sih. Aku hampir kedinginan nunggu di sini.”
“Kamu kan pakai jaket tebal,” balas Celine sambil menerima helm.
“Ya tetep aja. Yang bikin dingin tuh nungguin kamu,” jawab Daffa, setengah bercanda tapi nadanya tulus.
Celine terkesiap, lalu menepuk lengannya pelan. “Bisa aja.”
Daffa tertawa kecil, lalu menyalakan motor. “Ayo berangkat. Pegangan yang kuat ya.”
Celine naik ke jok belakang, kali ini tanpa ragu memegang jaket Daffa. Ada rasa aman setiap kali bersama sahabatnya itu, meski hatinya masih dipenuhi tanda tanya tentang sosok misterius yang menunggu di Taman Mahasiswa.
Perjalanan menuju kampus pun dimulai, dengan suasana pagi Bandung yang sejuk, jalanan basah sisa hujan, dan aroma kopi dari warung-warung kecil yang baru buka. Bagi Celine, inilah rutinitas yang selalu bisa menenangkan bersama sahabat yang sejak kecil jadi pelindungnya.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu hari ini akan berbeda.
Udara pagi Bandung masih terasa menusuk, namun jalanan mulai ramai dengan mahasiswa yang berangkat kuliah. Motor Daffa melaju pelan, melewati gang perumahan, menembus jalan besar dengan deretan pepohonan rindang di tepi jalan.
Celine duduk di belakang, memeluk erat tas ranselnya. Matanya sesekali mengamati sekeliling, memperhatikan kabut tipis yang masih menggantung di udara. Bandung memang selalu punya suasana khas, apalagi setelah hujan.
Daffa menoleh sebentar, lalu bersuara cukup keras agar terdengar.
“Masih kepikiran hujan semalem, Cel? Kamu kelihatan lesu.”
Celine terdiam sepersekian detik, lalu memilih tertawa kecil. “Nggak kok. Cuma… kurang tidur aja.”
“Beneran? Biasanya kamu bawel kalau naik motor. Ini diem aja.”
Celine menepuk pelan pundaknya. “Aku nggak bawel. Kamu aja yang suka nyari gara-gara.”
Daffa terkekeh, matanya kembali fokus ke jalan. “Oke deh, kalau gitu nanti pas sampai kampus aku traktir teh manis hangat di kantin. Biar semangat lagi.”
“Deal!” jawab Celine cepat, sedikit terlalu antusias.
Mereka berdua sama-sama tertawa. Obrolan ringan itu terasa seperti pereda ketegangan di hati Celine, meski sesekali pikirannya kembali melayang ke pesan misterius semalam. Kenapa harus aku? Kenapa di Taman Mahasiswa?
Sesampainya di Universitas Nusantara, motor Daffa masuk ke area parkir kampus. Hiruk pikuk mahasiswa pagi itu begitu terasa: beberapa sibuk mencari kelas, ada yang terburu-buru menyelesaikan sarapan, ada pula yang berkelompok sambil bercanda keras.