Malam itu, Celine berbaring di ranjang kamarnya dengan mata terbuka lebar. Lampu kamar sengaja ia redupkan, tapi bahkan kegelapan pun tak mampu meredakan pikirannya yang riuh. Kartu nama yang diberikan Devan tergeletak di atas meja belajar, seakan menatap balik dengan diam.
Ia menggulingkan tubuh, menutup wajah dengan bantal. Kenapa harus aku? Apa maksud dari map cokelat itu? Dan kenapa dia pergi begitu saja saat Daffa datang?
Bayangan tatapan dingin Devan kembali terlintas. Tatapan yang membuat jantungnya berpacu, bukan hanya karena takut, tapi juga karena… ada sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Ugh, kenapa jadi ribet gini sih?” gumamnya.
Ponselnya bergetar pelan. Celine buru-buru meraihnya, berharap ada petunjuk dari nomor asing itu. Namun, ternyata hanya pesan singkat dari Daffa.
Daffa: “Udah sampai rumah, Cel? Jangan dipikirin aneh-aneh. Tidur yang cukup ya.”
Celine tersenyum samar. Meski singkat, pesan itu membuat hatinya sedikit tenang. Daffa memang selalu begitu hadir tepat ketika ia butuh sandaran.
Namun, pandangannya kembali ke kartu nama di meja. Dua dunia kini terasa begitu nyata di hadapannya: yang aman dan penuh perhatian, dan yang misterius tapi memikat.
Keesokan paginya, udara Bandung kembali dingin menusuk. Sisa embun masih menempel di dedaunan, dan langit kelabu menggantung rendah. Celine berdiri di depan cermin, merapikan rambut panjangnya. Lingkar hitam di bawah mata masih jelas terlihat.
Saat turun ke ruang makan, Bu Ratna menatapnya khawatir. “Kamu kurang tidur lagi ya, Cel?”
Celine tersenyum tipis. “Iya, Ma. Tugasnya banyak.”
“Jangan terlalu dipaksa. Kalau capek, bilang sama Daffa biar bisa bantu.”
Celine hanya mengangguk, meski dalam hati tahu penyebabnya bukan tugas. Ia menelan cepat sarapannya, lalu bersiap berangkat.
Di luar, suara motor Daffa sudah terdengar. Seperti biasa, ia menunggu di depan rumah dengan helm cadangan. Begitu melihat Celine keluar, Daffa tersenyum lebar.
“Pagi, Cel! Kamu kelihatan pucat. Nggak sakit kan?”
“Enggak kok, Daf. Cuma… kurang tidur aja.”
Daffa menatapnya lekat-lekat, seolah ingin memastikan. “Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri ya.”
Celine mengangguk, meski hatinya penuh keraguan. Apa aku harus cerita soal Devan?
Perjalanan ke kampus berjalan dalam diam. Kali ini, Celine tidak banyak bicara. Ia hanya memandangi jalanan yang basah, pikiran melayang ke pertemuan kemarin.
Sesampainya di kampus, mereka berjalan berdampingan menuju fakultas Psikologi. Beberapa teman menyapa riang, tapi Celine hanya membalas dengan senyum tipis.
Nadya yang kebetulan lewat langsung menghampiri. “Ih, Cel, kamu kenapa? Mukanya kusut banget. Jangan bilang lagi galau sama Daffa?” godanya.
Celine buru-buru gelagapan. “Nggak, Nad! Aku baik-baik aja.”
Daffa hanya tertawa, meski matanya kembali menatap Celine penuh tanya.
Sebelum masuk kelas, Celine sempat menoleh ke arah Taman Mahasiswa dari kejauhan. Bangku flamboyan terlihat kosong, tapi bayangan pertemuan kemarin masih jelas dalam ingatannya.
Dadanya berdebar. Apa aku akan bertemu dia lagi hari ini?
Ruang kelas Psikologi pagi itu dipenuhi riuh mahasiswa. Suara kursi digeser, buku dibuka, dan obrolan bertebaran memenuhi udara. Aroma kopi sachet yang dibawa beberapa mahasiswa bercampur dengan semerbak parfum bermacam-macam.
Celine duduk di barisan tengah, diapit Rara dan Nadya. Daffa mengantar sampai pintu kelas, lalu melangkah ke gedung Fakultas Teknik di seberang. Sebelum pergi, ia sempat menepuk pundak Celine.
“Aku jemput pas istirahat, ya. Jangan kabur-kaburan lagi,” katanya dengan nada setengah serius.
Celine hanya mengangguk, merasa bersalah karena kemarin meninggalkannya begitu saja.
Pak Bima masuk ke kelas dengan senyum ramah, menenteng map tebal. “Selamat pagi, mahasiswa. Hari ini kita akan belajar tentang cognitive bias. Tapi sebelum mulai, saya ingin kalian menulis refleksi singkat tentang hal yang paling mengganggu pikiran kalian akhir-akhir ini.”
Ruangan hening sesaat. Mahasiswa saling pandang, sebagian mulai menulis, sebagian lagi hanya termenung.
Celine menggenggam pena, jantungnya berdegup lebih cepat. Apa aku harus jujur? Tangannya bergetar sedikit, tapi akhirnya ia menulis:
“Seseorang asing muncul dalam hidup saya, membawa pertanyaan yang membuat saya sulit tidur. Saya tidak tahu apakah harus percaya padanya atau mengabaikannya.”
Begitu selesai, ia buru-buru menutup buku catatan. Rara yang duduk di samping melirik penasaran.
“Wah, kayaknya dalam banget tuh, Cel. Cerita dong,” bisiknya.
Celine tersenyum hambar. “Nanti aja, Ra.”
Pelajaran berjalan, tapi pikiran Celine melayang. Kata-kata Pak Bima tentang cognitive bias seperti punya makna pribadi.
“Kadang kita terlalu cepat percaya pada informasi baru hanya karena berbeda dari apa yang biasa kita dengar. Bias itu bisa menipu kita, membuat kita merasa tahu lebih banyak padahal justru tersesat.”