“Nih, ulanganku. Lihat, Dhif. Tidak seburuk yang dikira Ibu Novita. Ini bukti, tidak perlu jadi orang yang tidak bisa mengeja huruf ‘R’, tidak perlu pelo sepertimu. Aku bisa mendapatkan nilai bagus ulangan Bahasa Inggris.”
Nadhif tidak menghiraukan. Dia sibuk membaca novel. Anggap saja ini seperti latihan sebelumnya, untuk tetap tenang. Seperti nasihat pak Zaifan. Nadhif mengatur pikirannya supaya tetap positif. Berulang pikirannya berkata pada diri sendiri, “Tenanglah. Nikmati jam istirahat ini sebaik mungkin. Tenanglah. Nikmati istirahat ini sebaik mungkin. Tenanglah.” Berulang kali dia mengucapkan hal itu pada dirinya sendiri di sela-sela membaca. Bima bersungut-sungut, sudah mencoba sabar menunggu respons Nadhif. Dibantingnya kertas tipis itu keras-keras di atas meja. Tentu Nadhif kaget. “Do you think you are better than me because cant spell “r” as well as me?” Tanya Bima.
“Apaan sih, Bim. Biasa saja kali. Aku tidak ili. Aku tidak butuh kaget juga bukan? Selamat ya nilainya bagus. Kamu sudah belajal dengan lajin, jadi selamat dong kamu sudah lebih baik dali aku.” Tanggap Nadhif.
Nadhif sudah belajar dari pak Zaifan kalau bully-an perlu dilawan dengan ketenangan dan mengakui kehebatan perundung. Walau kadang efektif dan kadang tidak. Tiba-tiba Bima justru marah dengan respons Nadhif yang datar. Tidak biasanya. Nadhif biasanya marah lalu Bima puas. Justru Bima marah dan diangkatnya kerah nadhif sehingga dianya ikut terangkat. Nadhif berdiri dengan terpaksa.
“Belagu! Kamu jangan sok polos ya. Bu Novita belain kamu karena katanya lebih jago Bahasa Inggris ketimbang aku.” Bima menatap Nadhif dengan penuh kemarahan. Sambil meniru gaya bicara ibu guru Sejarah dia bilang, “Bima, kamu jangan mengolok Nadhif. Orang yang tidak bisa mengeja huruf ‘r’ justru lebih lancar bahasa Inggris.” Tangan kiri Bima masih mencengkeram kerah Nadhif sembari mengejeknya.
“Kamu itu belebihan Bim. Omongan bu Novita Cuma gitu saja dibawa pelasaan.”
“Pelasaan? Perasaan kali.” Sambil melepas kerah Nadhif, Bima muak sendiri, “Kamu itu sudah belagu, sok alim pula. Dasal China!!”
“Bima!!” Nadhif mendorong dadanya, ”Maksud kamu apa bawa-bawa lasku, hah?! Ayahku tidak salah lahil dali olang Tionghoa. Aku pun tak salah!”
Bima tersenyum sinis. Dia menganggap bentakan dari Nadhif sebagai tantangan. Makanya dia mendorong balik Nadhif. “Dengar ya, Dhif. Dari dulu aku itu muak lihat muka kamu. Ingin berantem pengennya. Hah, itupun kalau kamu berani!”
Pikiran Nadhif yang semula berkali-kali berusaha tenang kini sudah hilang. Emosinya tersulut. Mau bagaimana lagi. Dia tidak betah terus-terusan dibilang lemah. Dia terima tantangan Bima. “Hali ini juga, disini! Kita selesaikan ulusan kita. Jika aku menang, minggillah. Kamu tidak usah ganggu aku lagi.”
“Oke. Kamu menang? Hah, cuma mimpi!”
Tidak ada yang mau berpikir panjang. Nadhif terima tantangan Bima, sedangkan teman-teman Bima mengerti harus melakukan apa. Kristian dan Dion berjaga-jaga di pintu. Sedangkan Ilham mengultimatum siswa yang ada di kelas agar tidak ada yang boleh melapor. Sepuluh anak lainnya di dalam kelas tidak boleh keluar. Vero pun ada disana. Namun dia diam saja, acuh tak acuh apa yang dilakukan Bima dan Nadhif. Vero membenamkan dirinya di bacaan sastra lama, Bumi Manusia karya Pram. Novel itu ia pinjam dari Aqila. Menurutnya lebih asyik menyelami tokoh Annelis yang cantiknya seperti Aqila– siswi yang disukai- baik rupa dan penggambaran wataknya. Ilham berkoar-koar, Vero duduk tenang. Kristian-Dion berjaga dan siswa yang lain sebagai penonton. Bagai aduan ayam saja.
***
"Oh jadi gitu ceritanya." Tanggap Argi di acara podcast. Nadhif diundang untuk menceritakan dirinya sebagai korban, yang menantang perundungnya.
"Alasan menantang kak Bima itu karena biar rundungan berakhir. Kalau kak Nadhif kalah, gimana?"
"Ya, aku gak nyangka sampai kesana waktu itu. Menang atau enggak, ya coba sajalah. Aku kan sudah latihan sama kakak. Dia petinju kan, dan aku latihan dengan sasak tinjunya. Setiap pulang sekolah, aku latihan. Aku siap kalau sewaktu-waktu diajak duel." Terangnya.
Nadhif berpakaian santai, kaos hitam polos dan memakai jam tangan. Kaos itu membuat kulit cerahnya seakan semakin bersinar. Tidak heran dari keturunan yang bermata sipit, sebagian besar berkulit cerah yang membuat insecure cowok keturunan lokal seumurannya. Dia juga masih keturunan campuran dengan Arab, sehingga memiliki hidung mancung yang proporsional. Kamera sedang menyorotinya, bergantian dengan Argi yang mewawancarai di meja podcast. Masing-masing mikrofon tugasnya berdiri tegak menghadap wajah keduanya. Telinga disumpali ear phone gunanya untuk lebih jelas mendengarkan.
"Sebelumya sudah sering ke ruang BK gak sih?"
"Iya, betul itu. Aku bolak-balik ke Pak Zaifan. Tanya-tanya gimana upaya melawan bully yang baik. Katanya, dengan memuji yang mem-bully bisa insaf. Eh, tapi kalau Bima malah muntap dan ajak aku kelahi."
"Oh, jadi sebetulnya kak Bima duluan yang ngajak?" Tanya Argi meluruskan pemahaman. Nadhif mengangguk.
"Nah, kebetulan kan. Aku juga sudah tidak kuat, ingin nampol mukanya. Jadi deh, kita kelahi. Tiba-tiba ada teman yang menengahi, kena hantam juga mukanya. Pak Maftuh kebetulan lewat depan kelas, langsung menghentikan kami dan dibawa ke BK."