Ilham, salah satu pelopor pelanggar aturan sekolah. Sampai hampir lulus, ia tak tahu menahu bagaimana pontang-pantingnya orang tua cari biaya. Dalam pikirannya yang penting senang-senang sekolah di Insan Utama yang biayanya melangit. Mana tahu bahwa sebetulnya, ayah-ibunya mendapatkan uluran tangan dalam hal biaya sekolah.
Tak tahu menahu soal jiwa filantropi yang membantunya, yakni dari sahabat sang guru BK. Setahu dia, kini orang tuanya berdiri di kejauhan bagai satpam sekolah. Menunggu di depan gerbang. Mengantarkann Ilham, dan memintanya menemui sendiri orang-orang itu di ruang tamu kampus putra.
Hari libur, hari rebahan seharian atau bertemu pacar jadi terganggu oleh permintaan orang tua. Apalagi kalau ketemu guru yang dibencinya. Mau bagaimana, terseretlah langkah Ilham yang malas bagai zombie tanpa mangsa itu. Terseok-seok menuju ruang tamu, bertemu pak Zaifan. Ayah-ibunya ingin mempertemukannya dengan filantropis yang membantu keluarganya, jauh-jauh hari memang sudah janjian. Entah kenapa Ilham tidak diberitahu pertemuan dengan guru BK soal apa, hatinya dongkol.
Kagetlah ia, pertemuan itu tentang apa. Ada Wira disana, yang reputasinya anak baik dan berprestasi. Ia malu, walau seisi ruangan tak tahu ia membenci pak Zaifan tanpa sebab, kepada gurunya yang berhati mulia. Ia malu, reputasinya disamakan dengan Wira.
"Ini Ilham Bu dokter," pak Zaifan memperkenalkan pada tamunya.
"Ini dia yang ditunggu," kata bu dokter. Ilham menjulurkan tangan dan mencium punggung tangannya. Sejurus kemudian menunjukkan penghormatan kepada tamu yang lain.
"Ini rupanya, Nak Wira dan Nak Ilham. " Sahut ibu-ibu sebelah Bu dokter. Tersenyum lebar kepada keduanya.
Ilham tersenyum ramah, canggung menyapa kepada empat orang asing di depannya. Disalaminya juga pak Zaifan dan segera duduk berdampingan Wira. "Selama dua tahun, baru kali ini ketemu Ilham." Sapa salah satu bapak-bapak.
Ilham malu. Seketika pikirannya menyesali. Rupanya biaya sekolah tak seratus persen orangtuanya yang membiayai. Rasa bencinya kepada guru BK berangsur berubah, jadi kesungkanan. Jika dia bisa membalas budi, maka seharusnya memang bisa dilakukannya.
Saat ia pulang, menggerutulah dirinya kepada ayah-ibunya. "Kenapa Ayah sama Ibu tidak bilang, kalau selama ini biaya sekolah Ilham, dibantu Pak Zaifan dan teman-temannya?"
"Kalau aku kasih tahu," Tanggap ibunya setelah berada di ruang tamu rumahnya. "Kamu pasti gak mau dibantu Pak Zaifan. Kamu bilang sendiri, bahwa dia guru yang jahat menurutmu."
***
"Jadi, kenapa Kak Ilham membenci guru BK?" Tanya Argi di ruang studio itu. Rabu sore, Argi melanjutkan rekaman untuk kanal youtube ekskul itu, menerima usulan Bima, untuk mengundang Ilham di acara podcast kanal Jus.IU yang viewers-nya, rata-rata ratusan ribu penonton itu.
Argi memakai seragam berbeda di rekaman hari ini. Pada hari Senin dan Selasa atau saat mengundang Nadhif dan Bima, dirinya memakai setelan putih berdasi. Biasanya syuting memang hanya Senin-Selasa, tetapi karena komentar penonton, Argi menyetujui untuk mewawancarai Ilham Rabu sore ini.
Kamera kembali menyorot wajahnya. Ilham sendiri saat siaran memakai jaket hitam. Mukanya yang tirus, lebih banyak menunjukkan mimik wajah serius. Kamera masih membingkainya, menunggu dirinya merespons jawaban Argi itu.
"Masa bodohlah perkara alasan benci tidaknya. Yang mengganjal dalam pikiranku itu, kok bisa aku disejajarkan dengan Wira?" Tanya Ilham balik kepada pembawa acara.
"Maksudnya, bagaimana? Kak Ilham merasa lebih baik atau Wira yang lebih baik?"
"Secara prestasi gitu. Wira yang polos ya, pelawak, gak pernah neko-neko. Pantas dong, dirinya mendapatkan bantuan. Yatim pula. Pak Zaifan mempertemukan dirinya dengan donatur, itu gak malu-maluin. Nah sedangkan aku, kan banyak catatan pelanggaran dari BK bareng Bima, Tian, Dion. Aku rasanya kayak malu sekali. Oh, ternyata pedulinya guru BK itu sungguh-sungguh, sampai membantu sejauh ini. Gitu."