Antara Kamu dan Guru BK

Mustofa P
Chapter #6

Di Luar Sekolah, Kerjaannya Ingin Kelahi Melulu

Malam hari di kos tanpa begadang. Hujan deras, Tian tidur lebih awal. Tersisa Bima yang tak nyenyak di ranjang atas, berteman dengkur Tian, hingga larut malam. Bima termenung, tatapannya nanar. Serasa ingin marah, tetapi pada siapa? Semua terjadi begitu cepat, dan kekuasaannya seperti ditelanjangi saat enak-enakan bolos ke bioskop. Anggotanya tiba-tiba jadi ember, mengkambinghitamkan dia. Besok, mungkin ia dipanggil kesiswaan lagi. Entahlah.

Sebetulnya ada genangan air di kelopak mata, namun cepat-cepat disekanya. Rencana balas dendam kepada guru BK gagal total. Rasa sakit di ulu hatinya, sebagian besar di dadanya telah menyesakkan. Sesakit pengalaman masa lalu, ketika tak berdaya siksaan ibunya. Dicobanya berbaring menahan sesak yang mendorong air mata membasahi bantal. Lamat-lamat, ruangan remang itu menggelap.

Saat kelopak mata terbuka, seisi ruangan jadi terang. Putih, sejauh mata melilau. Ternyata ada sosok ibunya yang berbusana putih, tiba-tiba merangkulnya dari belakang. Ibunya menangis. "Maafkan aku Nak," kata sang ibu.

Sebelum ruangan itu berubah menjadi dapurnya. Ia ingat panci diatas kompor. Dengan airnya yang mendidih. Pelukan ibunya ia lepas, "Apa ibu mau mencelupkan tanganku lagi kedalam panci itu?" Bima menunjuk. Terlihat muntap.

Lalu sadar, mata yang benar-benar terbuka lebar. Jari telunjuknya bukan menunjuk horizontal tetapi keatas. Bukan di dapur, tetapi ia terbaring di kasur.

"Mimpi buruk," menurutnya. Ia segera duduk di atas ranjangnya. Tak mampu lagi ia memejamkan mata kembali.

* * *

Kata maaf ibunya masih membekas dalam mimpi, tapi rasanya hati tak ikhlas. Bima merasa beruntung sekaligus terjebak pertemanan dengan Vero. Entah Vero atau Ilham, ia mencurigai keduanya sebagai mata-mata sekolah. Penghianat yang mengalihkan perhatiannya dari razia.

"Bim, apapun yang terjadi, aku tetap akan menjadi sahabatmu. Bila hari ini kamu dipanggil kesiswaan untuk mendapat hukuman, aku juga hadir disana." Kata Vero sore hari sepulang dari bermain di bioskop dan taman kota. Bima terlambat tahu, ada razia siang itu karena asyik menonton.

"Oh, jangan! Itu bukan urusanmu." Bima yang sebetulnya kaget dan gusar, mencoba menenangkan gejolak batin. Curiga dengan Vero tetapi sahabatnya siap dihukum bersama.

"Aku yang mengajakmu bolos bukan? Itu urusanku juga." Sanggah Vero.

Bima disergap rasa bimbang, berkecamuk di dalam pikirannya beberapa hal. Emosi tak menentu, antara kesal lantaran menurut seruan Vero, dan keinginan tidak melibatkan Vero kedalam masalahnya. Disisi lain, menganggap sahabat sejak kecilnya itu sedang menusuk dari belakang. Malam itu juga, setelah mimpi buruk, dirinya hendak menjauh dari ikatan persahabatannya. Tapi, siapa nanti yang menjabat tangannya ketika jatuh kalau tak ada lagi Vero?

Setelah mimpi buruk, Bima tidak bisa tidur hingga subuh tiba. Tian yang berbeda keyakinan dengannya, tak terbiasa bangun fajar. Tian larut dalam mimpi ketika Bima mendirikan shalat subuh di kamar kos. Hari ini ia bisa masuk sekolah, berniat mencari tahu siapa penghianatnya.

***

"Bim, aku mau ngomong. Sebetulnya aku sudah putus Bim. Sejak tahu kalau selama ini aku dapat beasiswa dari teman-teman pak Zaifan." Ilham mengatakan dengan agak ragu, pada teman sebangkunya. Maksud Ilham, hanya dia yang tak menemui kesiswaan hari ini. Bima terdiam. Tapi tatapannya, tampak marah. Belum selesai satunya, kini ditambah Ilham mendatangkan kecewa. Bima tak memberikan jawaban, bahkan menoleh tanpa tersungging senyuman di pertanyaan Dion dari balik punggungnya. "Bim, ada apa?"

Ilham mengisyaratkan agar Dion tidak colek-colek Bima. Suasana kelas gaduh, karena tidak ada guru disana karena sedang pergantian pelajaran. Tiba-tiba napas Bima mendengus. Ilham pura-pura tak gentar memerhatikan dengusan itu.

"Brak!!" Suara gebrakan meja, hentakan dari Bima tiba-tiba. Mengagetkan seisi kelas yang sedang kosong gurunya. Gebrakan itu usai, memekakkan telinga yang tiduran di atas meja. Hanya saja, bukan pemandangan langka lagi kalau dirinya gebrak meja. Bima beranjak maju ke muka kelas.

"Omong kosong," gumamnya. Perhatian sekelas tertuju padanya. "Ini semua omong kosong!" Bentakan, tanpa tujuan. Semuanya pada heran. Ada apa lagi gerangan?

Lihat selengkapnya