Di pergantian pelajaran, pak Zaifan sedang berjalan menuju ruangannya. Ia menenteng perangkat mengajar. Pak Maftuh juga keluar kelas, berpapasan dengannya. Keduanya saling menyapa. "Pak Zaifan," sapa pak Maftuh lebih dulu. "Mau ke ruang BK? Aku niatnya mau kesana juga."
"Oh iya pak Maftuh. Bagaimana tindak lanjut Argi dan Wira?" Tanyanya sembari berjalan beriringan.
"Saya sudah mengubungi orang tua mereka berdua pak. Kita bisa home visit kerumahnya." Jawab pak Maftuh memberitahukan. "Dan hari ini, ibu Argi mau menemui kita."
"Jam berapa Pak?"
"Kalau tidak salah sebentar lagi sebelum jam istirahat. Sekitar jam sembilan."
Keduanya sampai di ruang BK. Tak lama keduanya masuk. Duduk santai dan menaruh perangkatnya di atas meja. Terasa suhu di sana sejuk. Sembari duduk santai, sahabatnya bertanya, "Apa ada jadwal konseling Pak?"
"Ada, si Syarif. Tapi bisa ditunda dulu. Ibu Argi lebih diutamakan. Si Syarif lagi-lagi ingin melapor bahwa dirinya sedang diriksa. Ya, pak Maftuh tahu sendiri Syarif bagaimana. Sukanya mengundang perhatian, mengaku sultan ke temannya, yang bisa beli apa saja yang dia inginkan. Ya, wajar dirinya dicibir ketika tak mampu membuktikan kesultanannya. Tapi, ia belum sadar-sadar juga bahwa perlakuan yang ditanamkan, menuai panen untuknya sendiri. Semoga saja diberikan hidayah." Pak Zaifan menghela napas, seraya menyunggingkan senyuman.
"Ya kalau begitu, berapa kali pun kesini dia tidak mengerti kalau penyebab dia dirundung, karena perasaannya saja."
Percakapan tak berselang lama. Suara ketukan pintu terdengar. Keduanya menoleh kearah sumber suara. Pak satpamlah yang berada di depan pintu.
"Ada ibundanya Argi mencari guru BK dan wali kelas."
"Oh iya," sahut pak Maftuh, "Terimakasih. Kami sudah menunggu. Minta tolong, antarkan beliau kemari."
Pak Satpam mengangguk takzim. Ia langsung menuju tempat ibu Argi duduk, di pos satpam. Sementara itu, ruangan BK disiapkan performanya, terutama kursi. Kenyamanan kursi yang empuk dan bantal yang dipangku juga menentukan keterusterangan. Dua kursi di depan meja, salah satunya diseret pak Maftuh hingga sejajar dan duduk berdampingan dengan pak Zaifan. Tepat persiapan selesai, ibu Argi pun memasuki ruangan.
* * *
"Sehat, Bu?" Sapa pak Maftuh basa-basi. "Silakan duduk Bu," Sapa sebelahnya. Ibu Argi duduk sembari menyunggingkan senyum ramahnya pula. Diambilnya lebih dulu bantal pangku kemudian ia memeluk bantal itu. "Mohon maaf merepotkan pak Zaifan dan pak Maftuh karena ulah anak saya. Memang akhir-akhir ini, tindakannya membuat saya terkaget-kaget."
"Termasuk terlambat yang alasan inilah, itulah. Faren sampai berbohong karenanya. Argi yang sekarang, suka melawan pak. Bahkan, duh, kemarin sebelum berangkat, sampai membuat saya menangis. Susah dinasihatinya.
"Kami bisa memaklumi Bunda Argi terkaget-kaget melihat tingkah anaknya. Memang, ketika masih SD sampai kelas satu SMP, anak biasanya tidak terlihat perubahan fisik maupun mental. Tiba-tiba saja, perubahan itu terjadi mendadak. Suka lawan jenis, ingin mandiri, ingin mencoba melakukan sesuatu sesuai keinginannya, sehingga bertolak belakang dengan keinginan orang tua. Kebutuhan akan prestasi, cinta dan pertemanan seringkali terlihat meledak-ledak dalam diri seorang remaja. Wajar, Bunda Argi ini kaget sewaktu Argi melakukan sesuatu, semaunya sendiri. Pasti menurutnya benar. Padahal belum tentu benar dalam kacamata logis kita yang lebih berumur." Ujar pak Zaifan panjang lebar.
Sebagai guru BK, ia paling sering mengahadapi kenakalan remaja yang sedang memasuki masa transisi. Dari anak-anak ke jembatan menuju dewasa, gejolak hati remaja meletup-letup. Kebutuhan akan prestasi, cinta dan pengakuan menjadi prioritas utama. Bukan lagi tentang bermain saja. Remaja itu membingungkan: disebut anak-anak tidak mau, disebut dewasa masih tidak bisa mengerjakan semuanya sendiri.
"Ya remaja memang unik-unik. Apa yang dikatakan pak Zaifan barusan karena berkaca pada pengalaman. Remaja itu kalau disebut anak-anak mereka tidak mau, disebut dewasa toh mereka tidak bisa mengerjakan semuanya sendiri." Tanggap pak Maftuh.
"Menurut Bunda Argi sendiri, Argi yang sekarang bagaimana perubahannya? Boleh diceritakan kepada kami?" Tanyanya menambahkan.
Pak Zaifan menguatkan pertanyaan pak Maftuh. "Mungkin Ibu bisa menceriterakan kepada kami, bagaimana kegiatan Argi sehari-hari di rumah."
***
Ibunda Argi membangunkan anak-anaknya di dua kamar berbeda. Mulanya Argi tidur bersama adik, sebelum Argi "mengusir" sang adik dari kamar. Pasalnya Argi ingin tidur sendiri di kamar itu. Adik Argi pindah ke kamar bekas gudang, dipermak ayahnya menjadi nyaman dan layak huni. Pengusiran adik ke kamar lain adalah awal bagi ibunya, merasa aneh dengan tingkah laku yang diperbuat Argi sebelum tingkah berikutnya. Ibu berhasil membangunkan adik, meskipun adik bangun dengan malas. Tinggal Argi yang hendak dibangunkan, tapi pintu kamarnya dikunci.
Ini adalah kebiasaan baru di keluarga. Adiknya tak berani mengunci, nenek jika menginap tidak mengunci, ibunya juga. Jadilah ibunya sering mengelus dada, sudah dibilangi tidak usah dikunci ternyata lanjut dari hari ke hari. Ibu mengetuk pintu kamarnya hingga tiga kali, tak ada jawaban. Sebagai ibu, ia punya jurus pamungkas. Jurus khutbah terbaiknya. Teriakan malaikat maut.
"Argi!! Kamu mau ke neraka ya? Gak mau shalat ya, Nak?!"
"Buka kuncinya! Ingat, ibu dan ayah masih ada. Belajarlah istikamah, doakan orang tua biar nanti kalau kita mati sudah tenang, ada yang doain."