Cukup lama keduanya mengendarai motor menuju rumah Argi. Jalanan macet. Kalau bukan karena niat tulus membantu murid, mereka berdua pasti sudah putar balik, setelah pulang dari rumah Wira. Enakan di rumah, pak Maftuh bisa bercengkrama dengan istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil. Jam sepuluh siang, terik raja siang sudah menyengat. Tidak ada tanda akan hujan. Macet, di setiap lampu merah yang dilaluinya. Kedua guru ini sampai di alamat yang ditunjukkan pukul setengah 11 siang mepet zuhur. Tapi mau bagaimana lagi, keluarga Argi baru ada di rumah jam 10 tadi.
* * *
Suasana ramah yang menghangatkan pertemuan. Kedua guru ini disuguhi es jeruk isotonik disana. Es jeruk nipis yang dipadu dengan gula dan sedikit taburan garam, rasanya seperti campuran jeruk dan minuman isotonik. Pak Maftuh dan pak Zaifan membahas rasa jeruk itu. Keluarga Argi dengan senang berbagi resepnya. Argi memilih duduk sendiri di kursi yang diperuntukkan satu orang. Pak Maftuh dan pak Zaifan di kursi panjang, berseberangan dengan sofa tempat orang tua dan nenek Argi duduk. Pak Maftuh memulai pembicaraan yang serius dalam suasana santai ini.
"Kedatangan kami kemari adalah untuk menanyakan apakah keluarga Argi sudah mengetahui penyebab Argi terlambat."
Sebagai kepala keluarga, Ayah Argi menjawabnya. "Sudah, kami sudah tahu itu. Kami belum mendudukkan Argi dan menasihatinya sama sekali. Saya larang ibunya untuk menghakimi keterlambatannya di sekolah. Kita baru angkat bicara hari ini. Mumpung Argi mau mendengarkan."
Argi merasa takut dengan pandangan ayahnya. Prasangka buruk juga hendak menikam kedua gurunya. Rupanya ia tak senang. Itulah kenapa dia menundukkan wajahnya. Di sebelah kanan ayahnya, ibundanya terlihat mencolek paha ayahnya agar menahan amarah.
"Kami berspekulasi bahwa Argi mulai terlambat karena stres kebanyakan les privat. Katanya, ingin pindah sekolah di pondok pesantren. Juga ingin pindah ekskul. Saya memang tidak bisa melihat perkembangan Argi dan adiknya karena bekerja di luar kota, jadi tidak tahu seperti apa melawannya Argi ke orang tua." Imbuhnya.
"Kalau memang benar begitu, bagaimana tanggapan keluarga mengenai keinginan ananda?" Pak Maftuh menyetujui spekulasi ayahnya.
"Kalau saya pribadi tidak membolehkan anak saya jadi anak pondok. Keinginannya pindah sekolah, karena kata Faren rumahnya sudah seperti penjara. Sekolahnya juga sama. Padahal kalau mondok, itu lebih ketat lagi."
"Orang tua yang memondokan anaknya ya karena anaknya tidak bisa diatur. Tidak bisa disiplin ini-itu. Terus terang sangat tidak setuju, kalau Argi mondok karena kedua orang tuanya masih kuat mengurusnya." Seru sang Nenek. Mengambil alih jawaban yang semestinya terlontar dari lisan kepala keluarga.
"Kan tidak semua anak yang nakal ada di pondok, Nek. Anak yang baik-baik banyak." Sahut Argi.
"Kakak tidak boleh bicara sebelum dibolehkan berbicara." Titah ayahnya. Menyela daya pikir kritisnya. Hendak Argi berbicara lagi tapi sang ibu memberi isyarat tangan agar Argi tenang.
Argi diam secara terpaksa. Suasana hening sejenak. Ayahnya kembali melanjutkan percakapan, "Mengenai hafalan qur'an, kami usahakan cari guru les terbaik buat anak saya. Dia ingin meniru Vero.
"Dan sebetulnya anak kami tidak ada masalah. Argi tidak memerlukan fasilitas pondok, karena kami mampu mendidik dengan baik. Kami usahakan anak saya tidak akan berani terlambat lagi. Kami antar tiap hari bila perlu."
* * *