Waktu-waktu yang berharga, mengubahnya perlahan. Tak serta merta, Argi menggeliat untuk berprestasi. Kamar tanpa adiknya kini, tempatnya bersemayam. Semedi, mengulik antologi puisi.
Setelah latihan cipta puisi, hari perlombaan tiba. Ayah dan ibunda mengantar Argi ke tempat lomba, lengkap bersama adik dan nenek. Subuh hadir, dan dengan mudahnya Argi dibangunkan.
Sepanjang perjalanan tampaklah ia berperilaku sopan. Dirinya yang kaku dulu mungkin masih terasa, tapi tutur katanya dan sikapnya berangsur lemah lembut. Takzim pada yang lebih tua, bercanda sayang pada adiknya. Secepat itukah kepompong yang bernama kamar menerbitkan kupu-kupu? Tak sampai empat minggu, keluarga terharu perubahan itu. Namun keluarga menahan pujian selama empat minggu ini karena khawatir terjebak euforia. Khawatir realita nanti terasa setelah beberapa bulan kedepannya, apakah hanya sementara atau permanen perilaku Argi yang penurut ini. Adik juga tak merasa lagi, bahwa kakaknya iri padanya. Dia memang ingin kakak yang perangainya seperti sekarang. Nyamanlah kehidupan mereka sementara.
Argi sendiri telah mantap. Bekal tiga puisinya ia simpan di kepala. Mungkin sedikit perubahan kata, yang jelas tetap orisinalitasnya terjaga. Juri tiada yang tahu, cipta puisi milik Argi nanti adalah karya yang sudah ada dibenak, ditulis dan dikoreksi Amanda beberapa hari sebelumnya. Tetap sah-sah saja, selama itu bukan contekan.
"Ramuan puisimu apik, Gi. Saya suka puisi yang terakhir. Penggunaan kata bakal kekal terpingkal, nada yang bagus dibaca dan disuarakan." Kenang Argi akan komentar Amanda. Sesuai ungkapan hati dalam puisinya bahwa ia percaya, apa yang dipikirkan berulang maka akan mewujud nyata sesuai kepercayaan. Ketika turun dari mobil, ia meminta doa restu. Mencium punggung tangan ayah, ibu, nenek, dan memeluk adiknya yang berusia sembilan tahun. Tak ada lagi niatan berdebat dengan ibu. Sedikit pun tak mau. Ia malu pada pada Kak Vero panutannya, kenapa Argi tidak lembut seterusnya pada keluarga jika ingin serupa tabiatnya dengan kak Vero?
* * *
Acara pun telah dimulai. Kertas kosong tiga lembar telah ternodai tinta dan berisi tiga karya berjudul sama, dengan sewaktu latihannya. Namun waktu lomba dalam isinya ada beberapa kata diganti untuk memperindah, juri dan pembaca tetap tak akan gagal mengejahwantahkan. Judul-judul puisinya adalah 'Saat Aku Terbungkus Kepompong', 'Iman Terpucuk', dan 'Dangkal'. Ketiganya telah diberi titi mangsa tertanggal hari ini. Waktu berlalu, lomba telah usai dimulai pukul setengah sepuluh dengan durasi 90 menit. Tinggal menunggu pengumuman bakda zuhur nanti. Argi dan keluarga masih bisa makan siang bersama di kantin.
Tidak ada perdebatan, tidak ada bantahan, hilanglah percekcokan kecil dengan adik dan semua berjalan harmonis ketika makan siang. Dilanjutkan shalat bersama di tempat ibadah yang ada di SMA Negeri 02 yakni lokasi lomba tingkat kabupaten ini.
* * *
"Selamat ya Nak," Ibu Argi menangis yang sebelumnya menahan haru, kini tak terbendung. Air mata tumpah begitu saja. Menganak sungai saking bahagianya. Duduk bersimpuh lemas di tempat duduk teras kelas. Ayahnya memeluk erat Argi, mengelus rambut dan sempat mengecup keningnya. Ia menggondol tropi bertuliskan huruf i dobel, angka Romawi. Nenek pun terharu. Kiranya kini, dukungan mereka mampu memoles akhlak mulia pada cucunya itu dan penyandang piala yang diimpikan selama SMP, sebagai juara dua tingkat kabupaten.