Pelajaran yang tak pernah dibikin ujian semesternya. Tak kentara kompetisi apa yang hendak diukur, namun selalu ada sekali dalam seminggu. Apalagi hanya sejam pelajaran lamanya. Jikalau tak pandai menghibur, sejam materi bagai hidup di hutan tanpa Wi-Fi.
Begitulah yang dirasakan murid-murid bila ada guru seperti itu, di kelas yang mana Amanda adalah sekretarisnya. Seorang siswi yang menjelma jadi gadis yang telah membutuhkan perhatian, dan ia sejak kecil tertarik kepada orang yang lebih dewasa. Kelas lima SD dahulu ia tidak tahu bahwa yang ditangisinya tak mungkin jadi kekasih, karena paman termuda itu merantau kerja dan menikah disana. Sejak patah hati, ia cari sosok yang suka memuji, tutur katanya sopan nan lembut. Mencari orang yang sabar dan mampu mengajaknya, berimajinasi khas orang dewasa. Seperti kapan menikah dan kapan harus memikirkan derita serta bahagia kala mengarungi rumah tangga. Gambaran sempurna dalam benak itu, secara utuh mewujud dalam pribadi pak Zaifan. Dewasa, bijak, jomlo, berpikir luas, pembicara yang sopan dan tingkat kesabaran yang tak diragukan. Biasanya wanita suka meracau, bermanja-manja terhadap lelakinya. Jika lelakinya adalah sosok pemimpin yang sabar, maka makin cinta dan terkuai-kuai baik jasad dan jiwanya.
Pak Zaifan bergerak ke kanan-kiri menerangkan pelajaran, tak luput dari pandangan matanya yang terarah. Pada senyumnya, pada nada suaranya, pada rambut gelombang lebatnya. Bahkan kecerdasannya tak perlu diuji, terbukti dari daya kreativitas membikin sulap dalam sepertiga menit.
Sampailah kepada ujung materi, yakni sesi tanya jawab. Materinya adalah dunia bakat dan minat yang bisa menjadi akar, munculnya cita-cita baru yang lebih masuk akal. Cita-cita tak perlu terburu-buru diwujudkan atau ditiadakan, sebelum mencoba daya minat dan bakatnya. Tertarik akan hal itu- lebih tepatnya cari perhatian dengan caranya- Amanda langsung mengangkat tangan. Pak Zaifan mempersilakan.
"Saya ingin menjadi pramugari. Teman-teman menganggap pekerjaan ini memang bergaji besar tetapi suka berbagi tempat tidur dengan om-om atau eksekutif muda. Apakah hal itu membuat cita-cita saya hina, Pak?"
Merekah senyum itu dari sang guru, yang dinanti-nanti agar ditujukan kepadanya. Kedua mata yang saling menatap, meningkatkan harapan akan pelukan. Imajinasi bergegas meliar, tentang pelaminan dan para dayang. Tentang sentuhan hangat. Tentang anak-anak dari rahimnya dan masa bermanja-manja sebelum meninggalkan sang kekasih, terbang mengudara dengan burung besi. Tatapan bernuansa liar itu segera ia kendalikan. Menanti bagaimana caranya pak Zaifan memuji cita-citanya, dimana stigma soal pramugari, sedang melanglang buana kepada telinga remaja-remaja sepertinya.
"Baiknya tidak ada yang menyepelekan setiap pekerjaan, apalagi soal pelayanan publik seperti pramugari. Tidak ada awak kabin, penumpang pesawat berantakan dan mudah kecelakaan. Bagi yang memiliki cita-cita pramugari, tidak mungkin dalam benaknya ada kecenderungan untuk menjadi istri simpanan." Pak Zaifan masih sekadar membelanya. Tentu tidak mau begitu, respons Amanda.
"Jadi pramugari itu tidak mudah. Kudu bisa bahasa asing minimal bahasa Inggris. Gajinya fantastis, ada tunjangan untuk make up juga. Berkeliling ke luar negeri, menginap di bungalo, hotel, apartemen. Kesemuanya, kemewahannya setara dengan resiko di atas awan, meski hanya 1% adanya kecelakaan di atas sana. Kehidupan pramugari yang mentereng nan indah seperti itu, memiliki tekanan yang sama besar jika dirasa-rasa. Mata yang mengantuk seakan digayut batu berkilo-kilo, lalu mandi dini hari demi tiba tepat waktu sesuai jadwal penerbangan pagi. Dengan kantuk yang sangat menyiksa, wajah ramah terpaksa dirawat. Belum lagi setulus hati membersihkan muntahan orang, dan bersabar akan pelecehan seksual secara verbal. Masih ada satu lagi, pramugari haruslah siap mati." Ujarnya. Lalu sang guru melanjutkan, bahwa setiap lepas landas dan mendarat, para awak kabin dibekali pesan. Istilahnya “one minute silent review”. Berdiam diri selama satu menit saat duduk di kursinya, jump seat, lalu memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Memikirkan pula hal apa yang harus dilakukan, terkait dengan situasi tersebut.
"Jodoh takkan kemana. Semisal jodohku pramugari, bagaimana? Saya sangat percaya akan kesetiaannya, dimana dalam sudut pandang saya bahwa pramugari kesusahan mencari pasangan hidup selama terbang mengitari bumi. Hanya oknum belaka, yang bertugas jadi simpanan dan hingga mengira ialah sandaran tulang rusuknya."
Kepala Amanda membesar, berisikan imajinasi dirinya berseragam awak kabin, tak sudi jadi simpanan dan hanya ingin tertambat pada satu hati. Seakan semua itu serupa sindiran kepadanya di masa depan. Membayangkan, kedatangannya selalu dinanti kekasih hati. Pak Zaifanlah yang diramalkan jadi guling yang dirindukan itu. Ingin ia menghentikan waktu, maju kedepan menghadapi tubuh tegap dan gagah itu. Menyentuh dan mencium punggung tangannya tanda kehormatan. Mencium keningnya entah bagaimana tubuhnya sampai di kening orang semampai itu, dan mencecap bibirnya.