Setelah beberapa hari cuti yang terasa seperti mimpi indah yang singkat, Lita akhirnya kembali masuk kerja. Namun, sebelum menginjakkan kaki di pabrik yang bising itu, jemarinya lincah mengetik pesan singkat untuk Diki lewat aplikasi berwarna hijau. "Hai Diki, apa kabar? Besok aku sudah masuk kerja lagi."
Diki yang sedang menikmati sore yang tenang di rumah, bersantai sambil menyesap kopi pahit, langsung meraih ponselnya ketika notifikasi berbunyi riang. Matanya terpaku pada nama Lita yang tertera di layar. "Eh. Lita mengabari ku..." Batinnya bergejolak, sebuah perasaan hangat dan tak bernama menyeruak di dadanya. "Ya Tuhan. Perasaan apa ini?" Dengan jari sedikit gemetar, ia membalas pesan Lita. "Kabar ku baik. Kabar mu sendiri gimana? Wah. Benarkah? Senang dengar nya." Tak lama, balasan dari Lita kembali muncul. "Kabar ku baik. Yaudah ya. Sampai ketemu besok ditempat kerja.. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, baik Lita," jawab Diki, menatap layar ponselnya dengan senyum tipis yang menghiasi bibirnya. Sore itu, perasaannya benar-benar tak karuan. Rindu yang selama beberapa hari ia tahan, kini bercampur dengan kebahagiaan membayangkan bertemu Lita esok hari. Ia bahkan tanpa sadar terus memandangi foto profil Lita di aplikasi itu, senyum manisnya seolah menghipnotis Diki.
Esoknya, ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh tepat, menandakan dimulainya jam kerja, mata Diki bergerak gelisah, menyapu setiap sudut pabrik mencari keberadaan Lita. Ia sudah tak sabar ingin melihat senyum Lita yang selalu berhasil menghangatkan harinya. Namun... bak petir di siang bolong yang memekakkan telinga, Diki melihat Lita memasuki area pabrik dengan seorang lelaki yang berjalan di sisinya, membawa kotak bekal makan siang berwarna cerah di tangannya. Awalnya, Diki mencoba menenangkan gejolak aneh di perutnya. "Ah. Paling adiknya, atau sepupunya," pikirnya mencoba menepis rasa tak nyaman yang tiba-tiba menyerang.