Dua minggu yang lalu, di Kota Jakarta.
Hari itu terasa begitu hangat dan menyenangkan. Rafli tak bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya di sepanjang hari itu. Ujung bibirnya menyeringai lebar bersama sepasang mata cokelatnya yang terus saja berkaca-kaca.
Saat itu ia sedang duduk sendirian di toko busana wanita yang sepi pengunjung. Sebelah kakinya tak hentinya terus mengetuk-ngetuk lantai dengan perasaan agak gugup. Dirinya sudah tak sabar ingin menantikan sosok wanita itu untuk melangkah keluar dari ruang ganti pakaian.
Sudah hampir satu jam sendiri ia akhirnya mondar-mandir gelisah di depan jendela kaca. Suasana jalanan raya di luar sana sudah terlihat mulai macet lagi. Lalu matanya sekilas menengok pada jam tangan kulit cokelat yang dipakainya. Saat itu waktu hampir menunjukkan pukul dua belas siang.
“Bentar lagi mau jam makan siang nih, si Athifa kenapa lama banget sih?” gumamnya tak sabaran menunggu.
Beberapa detik setelah itu, akhirnya Athifa keluar dari ruang ganti pakaian. Ia tampak malu-malu saat menunjukkan penampilannya kepada Rafli.
“Gimana menurut kamu? Aku kelihatan jelek yah?” tanyanya dengan hati berdebar.
Sejenak Rafli menatapnya diam terpaku. Perasaannya saat itu juga begitu berdebar saat memperhatikan gaun biru penuh dengan payet perak yang dipakai oleh kekasihnya itu.
“Rafli, hei!” sahutnya, membuyarkan lamunannya itu. “Bagaimana menurut kamu?”
Seketika itu juga, Rafli menarik nafas dalam dan mulai mengedipkan matanya beberapa kali karena merasa suasana ini cukup canggung baginya. Apalagi saat matanya kembali menengok untuk mengintip penampilan Athifah yang tampak memukau dengan gaun mewah itu.
“Oh, enggak… maksud aku…” lalu ia bertukar pandang sekali lagi dengannya, mencoba memperhatikan dengan seksama gaun berlengan panjang itu. “Bagus kok. Keren banget kalau kamu pakai baju itu di acara pertunangan kita nanti.”
Senyuman riang pun terbesit pada bibir manis Athifa. Ia begitu senang mendengar pujian dari kekasih tampannya itu.
Namun Athifa tiba-tiba saja merasa gelisah seraya ia bergumam, “Serius? Bagus? Tapi aku enggak percaya diri nih… aku merasa enggak pantas pakai baju mahal ini.”
Sejenak Rafli berjalan mendekatinya dan menggandengnya mendekati cermin panjang di dekat ruang ganti pakaian itu. Lalu ia tersenyum saat memandang wajah kekasihnya pada pantulan cermin di situ.
“Lihat deh. Kamu itu cantik. Kamu harus percaya diri,” ucap Rafli yang meyakinkannya.
Namun Athifa masih saja memperlihatkan wajah murungnya.
“Senyum dong. Biar kamu makin cantik,” ucap Rafli lagi yang menyemangatinya. “Emang siapa sih yang berani bilang kalau kamu jelek?”
Athifa menatapnya balik disebelahnya. Lalu ia mulai tertawa kecil melihat mimik wajah Rafli terlihat lucu saat hendak marah.
“Sini, bilang sama aku, biar aku gebukin dia,” celetuk Rafli dengan sangat percaya diri.
“Ih, emang kamu jago berantem? Badan kamu aja kurus krempeng gini,” sindir Athifa sambil tertawa kecil lagi.
“Sembarangan!” sahut Rafli seraya menaikkan kedua alisnya. Lalu ia menggulung lengan kemeja putih pendeknya itu untuk memamerkan sebelah otot tangannya. “Lihat dong, sayang. Walaupun kurus, tapi ini yang namanya otot kecil-kecil cabe rawit.”
Athifa seketika itu juga mengacak-acak rambut hitamnya dan menyahut, “Garing banget sih kamu, Fli!”
Segera saja Rafli memeluk pundaknya dengan gemas dan berkata, “Kalau aku garing, kamu enggak bakal ketawa gini dong, sayang?”
Athifa langsung balas menggelitik pinggangnya, membuat Rafli geli dan melepaskan pelukannya segera.
Lalu Athifa teringat kembali akan rencana mereka hari ini. “Eh, undangan sudah dicetak, kan? Terus bagaimana…”
“Tenang, sayang. Aku sudah urus pengirimannya hari ini. Tadi pagi aku sudah ingetin si kurirnya,” sahut Rafli dengan penuh semangat. “Pokoknya semua beres!”
Athifa tersenyum lebar dan mengangguk lega.
Rafli pun ikut mengingatkannya lagi, “Kamu yakin cuma mau ngundang keluarga kamu aja? Bagaimana sama teman-teman kamu? Enggak mau ngundang mereka ke acara istimewa kita, nih?”