Hari berikutnya, Athifa hanya ingin menyendiri pada siang hari itu. Sudah menjadi kesehariannya ia suka merenung dalam sepi. Di pojok ruang toko buku kecil kesayangannya ini, Athifa duduk seorang diri sambil membaca buku lawas.
Dirinya begitu hanyut dalam bacaan-bacaan buku puitis. Saat itu ia sedang menyibukkan diri membaca buku tentang cinta yang ditulis oleh seorang pujangga yang seumuran dengan nenek dan kakeknya yang sudah almarhum. Walau bukunya tak dikenal oleh banyak orang, namun Athifa tetap menjadi pengagum rahasianya.
“Hari ini tlah ku sematkan catatan kecil untuk kasih. Kala itu memadu cinta dalam hanyutnya bayang duniawi…” gumamnya sendiri saat membacakan sebait kalimat dalam buku.
Namun saat ia hendak melanjutkan bacaannya, samar-samar ia mulai mendengar ada tapak sepatu yang mendekatinya. Seketika itu ia mendongak untuk melihat siapa yang sedang mendatanginya diam-diam.
“Hai, Athifa,” sapa seorang laki-laki jangkung dan bertubuh cukup kekar dibalik jas hitam formal yang dipakainya itu.
Sejenak Athifa terdiam saat menatapnya kaku. Sebenarnya ia sempat merasa bingung setiap kali dihampiri oleh laki-laki yang berteman dekat dengan kekasihnya ini. Namun kedatangannya memang selalu membuat dirinya jadi canggung. Apalagi kini ia sudah mengetahui tempat persembunyiannya yang suka mojok sendiri.
“Eh, Hadi. Kenapa kamu ke sini?” balasnya, sambil masih duduk kaku di pojok ruangan di belakang rak buku. Dan saat melihat senyuman manis dibibirnya, Athifa segera menebak sendiri, “Apa ada buku yang mau kamu beli ya?”
Hadi lanjut tertawa kecil seraya balas berkata, “Sebenarnya aku ke mari mau mengajak kamu mencicipi menu kopi terbaru di kedai aku…”
Seketika itu Athifa menahan nafasnya. Ia begitu merasa canggung sampai bingung bagaimana harus merangkai alasan yang tepat untuk bisa menghindar.
Hadi lanjut berceletuk, “Itu sih kalau kamu enggak keberatan.”
“Eh, aku…” dan saat itu, Athifa merasa bagai orang bodoh. Sulit baginya untuk bisa berbohong. Namun ia memang sedang tak ingin pergi ke mana-mana hari ini. Apalagi disuruh mengunjungi tempat ramai seperti Nonik Café Bar milik pengusaha tajir muda yang satu ini.
“Tapi sebagai teman baikku, aku berharap banget kalau kamu bisa datang,” bujuknya.
Athifa kembali menatapnya seraya jantungnya berdebar kencang. Rasanya pertemuan ini terlalu canggung baginya. Apalagi harus bertatap wajah hanya berdua saja dengannya tanpa Rafli.
Lalu Hadi menghampirinya lebih dekat. Ia mulai berjongkok dihadapannya sambil menatapnya tanpa berkedip seraya berkata, “Athifa, aku merasa beruntung bisa berkenalan sama kamu. Aku menganggap siapapun yang menjadi bagian dari hidup Rafli seperti keluargaku sendiri…”
Rasanya bibir merah mudanya itu hampir bergetar hebat akibat merasa kaku sendiri saat Hadi memandanginya tak berkedip begitu. Bahkan sorot mata indah hitam laki-laki dihadapannya ini terlihat begitu menghipnotis dirinya.
“Makanya, kamu adalah orang penting dalam hidupku. Sebagaimana Rafli juga menganggapmu sebagai belahan jiwanya,” ucap Hadi, berusaha meyakinkannya.
Athifa menarik nafas dalam beberapa saat. Ia berusaha menenangkan jantungnya sendiri yang tak bisa berdetak tenang sedari tadi.
“Ngomong-ngomong, aku sudah dapat undangan pertunangan kalian nih dari si Rafli kemarin,” ucap Hadi, namun sekilas suaranya terdengar bergetar. Matanya kini berkedip kaku saat mengatakannya, seakan ada emosi yang coba untuk ditutupi.
Pada saat itulah, Athifa mencoba memperhatikannya sejenak. Sesekali Athifa merasa seakan suasana di antara mereka berdua semakin terasa agak tegang saja. Bahkan cara berbicara Hadi yang terlampau sopan kepadanya itu terkadang membuatnya merasa aneh sendiri.
“Oh, iya? Syukurlah…” gumamnya, berusaha tersenyum lebar. “Datang ya, ke pesta pertunanganku nanti.”
Hadi balas tersenyum juga. Namun ujung bibirnya itu menandakan suasana batinnya yang nampak tertekan akan sesuatu. Sayangnya Athifa tak dapat membaca ekspresinya itu dengan jelas.
Setelah ia mengangguk, lalu ia lanjut bertanya, “Jadi bagaimana? Kamu sendiri mau dong datang mencicipi secangkir kopi baru buatanku siang ini?”
Mendengar Hadi tetap bersih kukuh mengajaknya, akhirnya Athifa beranjak dengan berhati-hati dari pojok ruangan. Lalu ia menatapnya malu-malu sambil bergumam, “Aduh, bagaimana ya? Aku sebenarnya kurang suka tempat keramaian…”
“Ada Rafli loh di sana,” ucap Hadi, masih membujuknya terus. “Masa’ kamu enggak mau menemani calon tunanganmu makan siang sebentar?”
Athifa langsung menatapnya terpaku saat itu. Ia tampak agak bingung.
Hadi pun segera menjelaskan, “Kamu belum tahu ya? Sekarang di kedaiku sudah tersedia nasi goreng istimewa loh! Jadi enggak sekedar cuma ada hidangan kue-kue manis saja.”