Bukan Apa-Apa, Tapi Ada
Hari Sabtu itu, matahari tampak malas. Awan mendung menggantung rendah, seolah belum benar-benar memutuskan ingin hujan atau tidak. Alya menyelipkan buku catatan ke dalam tas dan melangkah keluar dari toko alat tulis di pojok jalan.
Ia baru berjalan beberapa meter ketika sebuah sepeda hampir menyenggol bahunya.
“Eh! Maaf! Maaf banget!” suara itu terdengar panik.
Alya menoleh cepat.
Rafael.
Ia berdiri mematung sejenak, seolah Tuhan sengaja menarik jarum waktu untuk mempertemukan mereka lagi, justru saat ia sedang berusaha melupakan kejadian di perpustakaan minggu lalu.
Rafael menurunkan sepedanya, mendorongnya ke tepi trotoar.
“Alya, kan?” tanyanya hati-hati. “Kamu… nggak apa-apa?”
Alya menarik napas pelan. “Iya. Aku nggak apa-apa.”