Romi, teman sejak zaman kuliah sampai saat ini, dia juga teman sehati dalam mengumbar birahi, tiba-tiba mengajukan sebuah tantangan untuk menempuh sebuah perjalanan yang sejujurnya langsung membuatku ngeri.
Masih kuingat dengan sangat jelas kedatangannya, lima hari yang lalu tiba-tiba dia muncul di kantorku. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ketika aku masih sibuk bekerja lembur dengan berkas-berkas laporan penjualan yang porak-poranda di meja kerja, tiba-tiba sekretaris kantor mengetuk pintu dan masuk ke ruanganku.
“Maaf, Pak, mengganggu. Ada Pak Romi...”
Aku mengangkat kepala dan baru mau bicara ketika sosok tinggi besar dengan senyum licik tersungging di bibirnya melangkah dengan gaya pongah melewati pintu yang dibukakan sekretaris kantor.
“Ada apa? Butuh duit?” tanyaku sambil lalu kembali mengalihkan pandanganku pada kertas-kertas laporan di depanku.
Biasanya, kalau dia sampai nyusul ke tempat kerja seperti ini, paling-paling urusannya cuma pinjam duit. Selain suka main perempuan, sudah sekitar setahun terakhir ini Romi keranjingan main judi. Kebiasaan itu yang selalu membuat kantongnya terkuras tak bersisa. Padahal, dengan posisi lumayan di sebuah perusahaan asing, gajinya terhitung tinggi.
“Duit? Nggak butuh!” jawabnya sambil menghempaskan pantatnya dengan keras di kursi depan mejaku.
“Tumben. Terus, ngapain ke sini? Nggak mungkin kalau kangen padaku, kan!” Aku berkata tanpa berniat mengangkat kepala dan masih sibuk menekan-nekan kalkulator.
“Ini soal Bidadari,” jawabnya singkat.
“Oh. Bidadari yang mana?” tanyaku masih tetap tidak peduli. “Bidadari yang turun dari langit atau Bidadari tetangganya Ibu Peri?”
“Bidadari Larasari,” jawab Romi santai.
Kepalaku tegak seketika mendengar nama perempuan yang tengah menjadi perbincangan hangat para lelaki seperti kami.