Inilah bentuk taruhan yang diusulkan Romi padaku:
Aku harus pergi dari Surabaya ke Solo dengan naik bus kelas ekonomi tanpa boleh ditemani. Baik oleh sopir pribadi atau pembantu sekali pun. Dan Romi akan stand by di Terminal Tirtonadi Solo untuk menungguku. Kalau aku berhasil sampai di sana, jatah kencan dengan Bidadari akan jatuh ke tanganku. Tapi kalau aku gagal, aku harus menghanguskan hutangnya padaku yang jumlahnya mencapai tigapuluh juta rupiah.
Kurang ajar.
Romi sangat tahu kelemahanku. Dari kecil sampai sekarang, aku hidup dengan segala kemudahan. Aku anak bungsu yang hanya punya satu kakak perempuan. Bapakku punya jabatan di sebuah perusahaan telekomunikasi. Sedangkan ibuku, seorang dokter spesialis kulit yang punya klinik kecantikan; yang pasiennya selalu mengantri dari pagi sampai pagi lagi. Dalam sejarah hidupku, bisa dihitung dengan jari berapa kali aku naik taksi. Itu hanya dalam kondisi darurat kalau ada masalah dengan mobil pribadi. Dari masih TK, aku dan kakakku sudah mendapat jatah masing-masing satu mobil pribadi beserta sopirnya.
Jadi, bagaimana aku harus menempuh perjalanan sejauh itu dengan naik bus kelas ekonomi? Perutku langsung mual hanya dengan membayangkannya saja.
“Bagaimana, Bram? Sanggup?” tanya Romi dengan seringai liciknya.
Mukanya sudah terlihat yakin seratus persen kalau aku tidak akan berani menerima tantangannya. Dia pasti juga haqul yakin, aku bakal menyerah begitu saja.
“Ehm, atau kamu cukup puas mendengar pengalamanku kencan dengan Bidadari? Setidaknya, kamu bisa mencari perempuan yang lain untuk menghibur diri. Aku tahu tidak semua laki-laki seberuntung diriku.” Romi makin jumawa.
“Dasar buaya!”
“Memang. Dan sesama buaya dilarang saling mendahului.” Tawa Romi berderai mengejekku.
Aku curiga, Romi sudah merencanakan taruhan ini sebelum datang ke kantorku. Atau mungkin juga kesempatan ini sengaja digunakannya untuk menghapus utang-utangnya padaku. Melihat begitu cerdiknya dia mengajukan tantangan dan menentukan hukuman untukku jika kalah.
Aku yakin, Romi sudah menduga, kali ini aku juga tidak akan menyerah begitu saja, atau menolak tantangannya. Karena ini soal harga diri di antara kami berdua. Namun, dia juga tahu, aku sudah merasa ngeri hanya dengan membayangkan perjalanannya. Tak bisa dipungkiri, bukan hanya Romi yang punya keyakinan seperti itu. Aku sendiri sudah pesimis bisa sampai di Solo nanti.
Dan kalau aku nanti menyerah di tengah jalan, Romi akan menyuruh sopirnya menjemputku dan mengantarku sampai ke Solo. Di sana kami akan menyelesaikan semua urusan taruhan ini.
Sialan!
Bukan saja hutangnya jadi lunas, dengan keberhasilannya kencan dengan Bidadari, aku bakal merasa sebagai seorang pecundang yang tak akan pernah punya kesempatan sepertinya lagi.