Hari Sabtu, tanggal 23 Desember, waktu menunjukkan pukul 06.30 WIB.
Pagi ini, aku sudah berada di sebuah tempat, yang walaupun sering kulewati, tapi belum pernah sekali pun kudatangi. Sungguh, tidak pernah sekali pun aku datang ke Terminal Purabaya ini; atau lebih beken dan familiar di kalangan masyarakat Jawa Timur dengan sebutan Terminal Bungurasih. Kalau bukan karena tantangan Romi dan demi bisa berkencan dengan perempuan bernama Bidadari, aku jelas tidak ingin menginjakkan kaki di sini.
“Maaf, Pak. Kita sudah sampai. Apa kita ndak salah tempat? Pak Bram?” pertanyaan sopirku cukup mengagetkanku.
“Apa, To? Kamu ngomong apa?” Aku balik bertanya karena beberapa saat sebelumnya, aku masih terbengong-bengong menyaksikan begitu banyak manusia hilir mudik di lorong-lorong terminal, yang langsung terlihat begitu Jito menghentikan mobil di tempat parkir.
“Kita sudah sampai di Terminal Bungurasih. Apa kita ndak salah tempat?” Jito mengulangi pertanyaannya. “Ndak biasanya Pak Bram ke terminal ini, apalagi mau pergi naik bus sendiri.”
Aku tersenyum memandang wajahnya.
Sujito, yang biasa kupanggil Jito, sudah menjadi sopir pribadiku selama kurang lebih tiga tahun terakhir ini. Postur tubuhnya kecil dengan rambut keriting dan murah senyum. Orangnya bisa dibilang sangat sederhana, sopan, dan rajin, dan berasal dari Yogyakarta. Umurnya sekitar duapuluh lima tahun dan baru saja mendapat anak pertama sebulan yang lalu. Sejak itu wajahnya selalu terlihat gembira dan berseri-seri. Apalagi kalau menceritakan bayi laki-lakinya.
Tiba-tiba ingatanku melayang pada satu peristiwa yang kuanggap lucu. Suatu hari, sepulang dari kantor dan terjebak kemacetan dalam mobil di sepanjang jalan Ahmad Yani, tiba-tiba Jito menoleh dan memandangku cukup lama dengan wajah serius.
“Maaf. Pak Bram jangan marah, ya, kalau saya bertanya.” Suaranya jelas-jelas gemetar.
Aku tertawa melihat keluguan dan ketakutan yang terlihat dari raut mukanya.
“Ada apa, Tok? Apa selama ini aku pernah memarahimu kalau bertanya padaku?”
Jito langsung menggeleng-geleng gugup.
“Nggak, Pak. Tapi... ehm... anu...eh... pertanyaan ini sifatnya sangat pribadi. Takutnya nanti Pak Bram jadi tersinggung dan marah sama saya. ”
“Nggak apa-apa, To. Ayolah, santai saja. Aku janji nggak akan marah.” Aku menjawab sambil menepuk-nepuk bahunya. Aku seolah bisa menebak pertanyaan apa yang akan diajukannya. Paling-paling dia lagi butuh uang karena istrinya belum lama melahirkan.
Bukannya segera mengajukan pertanyaan, Jito malah terlihat mencengkeram setir lebih keras, matanya menerawang ke depan dengan ekspresi yang susah ditebak.