Antara Surabaya dan Solo via Bus Ekonomi

Netty Virgiantini
Chapter #5

Terminal Bungurasih Surabaya

“Pak Bram benar-benar mau pergi ke Solo naik bus?” Pertanyaan Jito kembali menyadarkanku dari lamunan. “Nggak salah, Pak?”

“Ya.” Aku menjawab singkat sambil melepaskan sabuk pengaman dari bahuku. 

Sementara Jito cepat-cepat membuka pintu disampingnya, meloncat turun, dan setengah berlari mengitari depan mobil, dan buru-buru membukakan pintu untukku.

Aku berdiri beberapa saat di samping mobil, mengamati pemandangan manusia lalu-lalang di lorong-lorong yang terlihat jelas dari tempatku berdiri. Perlahan rasa ragu mulai merayapi dadaku dan menggoyahkan semangatku.

Beberapa pertanyaan langsung memenuhi kepalaku bertubi-tubi: Perlukah aku sedemikian ngototnya menanggapi tantangan Romi? Hanya untuk memperebutkan seorang perempuan yang bahkan belum tentu bisa kunikmati? Apakah ini semua hanya demi ide konyol yang mengatasnamakan harga diri sebagai laki-laki?

 Pertanyaan-pertanyaan itu terus memantul-mantul di dinding kepalaku. Aku tahu, kesempatanku untuk menang sangat kecil; karena hanya dengan memandang sekian banyak orang berlalu-lalang di depanku, rasa malas sudah mulai menguasai benakku. 

Namun, menyerah begitu saja sebelum melakukan perlawanan, itu jelas merendahkan harga diriku di depan Romi. Kalau aku sampai melakukannya, seumur hidup aku akan menyandang label pengecut sekaligus pecundang di mata Romi. 

Aku menarik napas panjang dan berat. Kutegakkan tubuhku dengan tekad bulat: tantangan sudah kuterima, apa pun yang akan terjadi harus tetap kuhadapi. Bukankah itu sudah seharusnya menjadi sifat dasar seorang laki-laki!?

Sesaat kemudian aku mulai melangkah pelan melewati lapangan parkir mobil, menuju lorong-lorong yang terlihat penuh dengan calon penumpang yang kebanyakan membawa barang bawaan seabrek. Jito mengikuti di belakangku sambil menenteng travel bag hitam yang hanya berisi beberapa lembar kaos, celana, dan perlengkapan pribadi lainnya.

Begitu berada di lorong yang menuju pintu masuk penumpang, aku seolah larut dalam arus manusia yang berjejal-jejal. Jito berjalan di depanku; langkahnya tampak lincah dan cepat, karena dia pasti sudah hapal dan terbiasa menyusuri lorong dan kelokan tempat ini. Setelah dua kali berbelok, kami berada di pintu masuk ruang tunggu penumpang.

“Mana tasnya?” tanyaku cepat.

Lihat selengkapnya