Begitu sosok Jito menghilang diantara lalu-lalang manusia di lorong terminal, aku bergegas melangkahkan kaki masuk ke ruang tunggu penumpang. Aku langsung terpana menyaksikan pemandangan di depan mata. Semua kursi sudah penuh terisi. Banyak orang yang harus duduk di lantai, bahkan yang berdiri pun tak kalah banyaknya.
Setelah sejenak terperangah dengan situasi di ruang tunggu, aku segera meneruskan langkah menyelinap di sela-sela orang-orang yang duduk di lantai dan berhenti di belakang pagar pembatas ruang tunggu yang berseberangan dengan jalur-jalur bus yang berjejer menunggu jadwal keberangkatan. Segera kubaca petunjuk papan yang berada di atas masing-masing jalur bus. Setelah membaca berulangkali dari tempatku berdiri, mataku menemukan papan bertuliskan, Bus Ekonomi - Madiun-Solo-Yogya.
Aku memperhatikan dan membaca satu per satu nama bus-bus yang berjajar di depanku: Akas, Mira, Eka, Sumber Kencono, Sumber Selamat, Cendana, Restu, Sinar Kehidupan. Sambil membaca aku menimbang-nimbang dalam hati, bus mana yang akan kunaiki. Dengan pengalaman naik bus yang sangat minim, bahkan bisa dibilang nol besar, aku tentu saja bingung dan tidak tahu harus naik bus yang mana.
Mataku malah tertuju pada segerombolan pria berseragam oranye yang berbaur dengan para pria yang tidak memakai seragam, yang bergerombol berdiri berjejer di depan jalur masing-masing bus. Setiap kali ada orang melewati pintu dan mendekati jalur-jalur pemberangkatan, mereka langsung ramai mengerubuti menawarkan armada busnya masing-masing. Beberapa penumpang terlihat bingung sambil mendengarkan tawaran beruntun dari kiri-kanan. Beberapa diantaranya nekat menghampiri penumpang dan sigap merebut tas bawaan untuk dibawa ke armadanya.
Aku masih berdiri di belakang pagar pembatas dari besi. Begitu terlarut dalam keasyikan memperhatikan kesibukan para awak bus yang tengah berusaha mencari dan berebut calon penumpang, biarpun rasanya orang-orang juga bakal datang sendiri ke bus yang telah dipilihnya.
Keasyikanku terusik ketika tiba-tiba ada yang menyenggol keras samping tubuhku. Kaget. Tubuhku langsung terdorong ke samping. Untung pijakan kakiku lumayan kuat, jadi tidak sampai jatuh. Setelah berhasil menegakkan tubuh kembali ke posisi semula, aku kembali dikagetkan oleh sosok seseorang sudah berdiri agak merapat di samping kiriku.
Kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba dan posisi berdirinya yang cukup dekat, aku langsung dan tepat pada saat itu, dia tengah menengok ke arah yang lainnya.
Seorang gadis. Bertubuh mungil. Tingginya tak sampai sebahuku. Lebih tepatnya hanya sampai siku lebih sedikit. Mungkin tingginya sekitar seratus lima puluh sentimeter. Gadis mungil itu mengelakan celana panjang jins biru yang sudah pudar warnanya, dipadu dengan atasan jaket hoodie berbahan kaus warna merah dengan. Rambutnya pendek mirip salah seorang presenter top acara talk show di televisi yang aku lupa namanya. Sayang sekali aku tidak bisa melihat wajahnya.
Yah, paling-paling wajah lugu dan naif mahasiswi yang berasal dari kampung, tebakku seperti bisa melihat wajahnya menembus batok belakang kepalanya. Dengan tas ransel warna biru menempel di punggungnya, beberapa kali dia terlihat menengok ke sana-kemari seperti sedang mencari seseorang.
Aku tertawa dalam hati, paling-paling lagi janjian sama pacarnya dan tak sadar sudah ditipu mentah-mentah. Cerita khas anak muda. Melihat penampilannya, pasti gadis itu seorang mahasiswi yang mau pulang kampung karena kehabisan jatah bulanan. Lagi-lagi aku asal menebak dan memberi penilaian sesuka hati dengan tingkat kengawuran yang cukup tinggi.
Ketika aku baru saja menoleh kembali untuk melihat jalur-jalur bus di depanku, tiba-tiba tubuh gadis di sampingku terhuyung keras dan kembali membentur sisi tubuhku lagi. Kali ini lebih keras.
Kaget.