Saat aku masih sibuk menyumpahinya dalam hati, gadis itu justru sudah bergegas pergi. Setengah berlari dia keluar dari ruang tunggu dan berkelit lincah diantara arus orang-orang yang bergerak menuju bus pilihan masing-masing. Tas biru di punggungnya bergoyang ke kiri dan kanan mengikuti gerak tubuhnya.
Tanpa sadar kakiku langsung bergerak, mengayun langkah begitu saja mengikutinya. Ketika melihatnya menuju bus bertuliskan Sinar Kehidupan yang antre di bagian paling depan pada jalur yang sama dengan tujuanku, tiba-tiba ada rasa lega yang melapangkan dadaku.
Sudah banyak orang bergerombol di sekitar pintu depan dan pintu belakang bus. Semua calon penumpang saling berebut untuk naik lebih dulu. Aku masih memandang keributan di depan pintu belakang bus, ketika mataku menangkap sosok mungil berjaket merah terlihat ikut antre berjejalan di pintu depan. Entah kenapa kakiku langsung melangkah begitu saja ke sana dan berdiri tepat di belakang gadis itu.
“Ke Solo kan, Mas?” tanyaku pada awak bus yang tengah berdiri sambil senyam-senyum memandang begitu banyak orang berebut naik ke armadanya. Mungkin di kepalanya sudah terbayang hasil yang akan diperolehnya pasti jauh melebihi setoran wajibnya.
“Betul, Solo-Yogya. Naik saja, Pak. Di dalam masih banyak kursi yang kosong. Masih longgar!” jawabnya dengan binar gembira di matanya.
Gadis itu terlihat sedikit kesulitan naik ke atas bus yang cukup tinggi. Apalagi harus berdesakkan dan berebut dengan orang-orang di sekelilingnya. Melihatnya belum berhasil juga menapakkan kaki, aku membantu mendorong tubuhnya dari belakang sampai dia berhasil memijakkan kakinya di atas bus. Tentu saja dia tidak menoleh untuk mengucapkan terima kasih padaku. Mungkin juga tak sempat terpikir olehnya siapa yang telah membantunya. Di antara himpitan, desakan, dan dorongan begitu banyak orang, hal-hal seperti permintaan maaf atau ucapan terima kasih pasti tak sempat terlintas di kepalanya.
Dengan memanfaatkan postur tubuhku, walaupun terdesak dan terdorong dari belakang, aku langsung bisa menyusul masuk ke dalam bus.
Mataku langsung memandang ke seluruh penjuru dalam bus. Yang pertama terlihat, justru kerumunan orang-orang yang saling mendorong dan mendesak untuk berebut tempat duduk. Suasana lumayan kacau dan hampir semua kursi sudah terisi.
Mana kursi yang masih kosong? Katanya masih longgar! Aku jadi kesal mengingat kata-kata awak bus di bawah tadi.
Setelah mengamati dengan cermat dan saksama, akhirnya aku melihat dua kursi kosong di deretan nomor empat dari depan. Namun, sebelum aku sempat memutuskan untuk bergerak, setengah meloncat gadis mungil berjaket merah yang sejak tadi berdiri di depanku itu langsung menghempaskan pantatnya di kursi kosong itu. Lebih cepat sepersekian detik dari penumpang yang bergerak dari arah belakang. Kemudian gadis itu segera melepaskan tas ranselnya dan meletakkannya di kursi kosong di sampingnya, dekat dengan jendela.
Saat aku mencoba masuk melewatinya untuk duduk di kursi kosong tempat tasnya diletakkan, dia langsung berdiri menghalangi jalanku.
“Hei, minggir!” bentakku keras.
Namun, gadis itu justru segera memutar tubuhnya menghadangku dengan kedua tangan direntangkan.
Aku meluapkan rasa kesal dan amarahku dengan melotot padanya. Tapi sepertinya dia tidak peduli dan malah melambai-lambaikan tangan kanannya ke arah depan.
Oh, jadi dia mencarikan tempat juga buat pacarnya! batinku geram mengumbar tuduhan ngawur untuk kesekian kalinya.
Enak saja. Jangan harap! Karena aku yang lebih dulu menemukan kursi kosong ini.
Begitu aku mau memaksa mendesak maju, sebuah tangan terasa menepuk-nepuk pinggangku. Dengan cepat kuputar kepala ke belakang, tampak seorang ibu setengah baya menggendong bayi di lengan kirinya. Sementara bahu kanannya mencangklong tas besar berwarna hijau muda yang terlihat cukup berat.
“Permisi, Pak. Tadi di bawah saya sudah minta tolong Mbak ini untuk mencarikan tempat duduk,” ujarnya sopan sambil tersenyum raman dan mengangguk hormat padaku.