Tak berapa lama merasa lega, tiba-tiba aku dikagetkan oleh getaran ponsel di saku depan sebelah kiri celana panjang. Buru-buru kuambil dengan tangan kiri, melihat nama yang tertera di layar, aku hanya bisa tersenyum lebar. Shasha.
Sesaat aku seolah lupa diri dan lupa dimana aku berdiri. Sengaja kutekan tombol speaker supaya tidak perlu lagi menempelkan ponsel di telinga, sementara tangan kanan harus terus berpegangan pada besi di atas kepalaku.
“Hallo, Sayang...,” sapa sebuah suara manja di seberang sana.
“Lagi di mana? Ini kan long weekend... Kemana kita hepi-hepi?” rajuk Shasha, sosok yang biasanya tak begitu memberi arti selain kecantikan dan tubuhnya, kini terasa berbeda dalam kondisi pengap begini.
“Halo, Sha,” kataku sambil nyengir memandang ponsel yang kupegang di depan bibir, “Ini lagi mau meeting di Solo. Biasalah, orang pusat suka nggak kira-kira nyari waktu. Don’t worry, aku janji nanti pasti kuganti semua waktu yang terlewat ini.”
“Janji ya... awas kalau bohong.” Shasa kembali merajuk manja.
“Janji. Siapa sih yang bisa bohong sama kamu? Rugi besar. Perempuan cantik dan seksi nggak bakal lahir dua kali di dunia ini.” Mulutku secara otomatis mulai mengeluarkan jurus gombal yang sudah terlalu sering kulontarkan.
Terdengar tawa renyahnya.
“Janji juga, ya... Mas Bram langsung telepon kalau sudah selesai meeting-nya. Aku bisa segera nyusul nanti.”
“Oke, Sha.”
“Miss you...”
“Miss you too.”
“Muaah… muuuaaah...” Suara kecupannya terdengar mengakhiri pembicaraan.
Tawa masih terus melebar di bibirku ketika menutup ponsel. Suara Shasha seolah bisa mengusir sejenak hawa panas dalam bus ini.
Namun, ketika mau memasukkan kembali ponsel ke dalam saku, tiba-tiba gerakan tanganku terhenti begitu saja. Sesaat, perasaanku terasa tak enak. Rasanya ada sesuatu yang tak biasa. Aneh. Baru kusadari keheningan yang terasa asing menyelimuti sekelilingku.
Hening.
Sunyi.
Janggal.
Tidak ada suara, kecuali suara mesin bus yang jadi terdengar sangat pelan karena bus masih berjalan lambat keluar terminal.
Bingung. Perlahan aku memutar kepala mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru bus yang terjangkau mataku.
Wah… wah… wah... kenapa semua mata tertuju padaku?
Kesadaran dan rasa malu mulai merayap di dadaku ketika menyadari mengapa mereka semua memandangku. Sebagian senyam-senyum sambil berbisik-bisik dengan orang di sebelahnya. Beberapa orang berpenampilan lugu masih terus menatapku dengan mulut ternganga dan tatapannya seperti melihat tontonan gratis saja.
“Suit... suuuiiiit...” segerombolan anak muda yang berdiri dekat pintu belakang bersiul keras sambil nyengir kuda menatapku.
Bahkan gadis bermata bulat dan berjaket merah itu juga mendongak menatapku.
Melihat sepasang matanya seolah memakiku, aku mengangkat bahu dengan gaya tidak peduli seraya memasukkan kembali ponsel ke saku celana. Ada rasa bangga terbersit di dadaku. Biar gadis bermata bulat yang menyebalkan ini tahu, ada banyak perempuan dalam hidupku. Dan dia tidak bisa lagi bertingkah sok jual mahal dengan terus-terusan bersikap cuek dan melotot padaku. Hanya gadis biasa seperti dirinya, jelas bukan seleraku!
“Suit… suiit… suiiiit….!!!”
Kali ini kembali terdengar siulan keras. Bukan dari arah belakang seperti tadi, tapi dari kenek bus di pintu depan. Senyuman orang-orang yang masih melihatku, rasanya suitan kenek bus itu ditujukan untuk mengejekku. Ah, apa ini hanya perasaanku saja?
Entahlah.
Jujur, aku malu. Apa enaknya jadi tontonan orang satu bus seperti ini? Aku yakin mukaku sudah memerah dan terasa panas saking malunya. Secepatnya aku menundukkan kepala. Rasa malu membuat rasa gerah kembali menyergapku.
Panas.