Bus berbelok perlahan masuk terminal.
Begitu berhenti, dari pintu depan nampak berjejal-jejal pedagang asongan berebut naik ke atas bus. Riuh rendah tak mau saling mengalah.
Bisakah kalian membayangkannya?
Di dalam bus yang masih penuh berjejal, yang nyaris tak ada celah sedikit pun di antara penumpang yang berdiri, pasukan pedagang asongan itu dengan seenaknya mendorong-dorong siapa pun yang dilewatinya. Menyeruak maju sambil menawarkan dagangan. Tanpa memedulikan lagi berapa kaki yang sudah terinjak, berapa tubuh yang tersodok barang dagangan, dan berapa keluhan penumpang yang terdengar tak berdaya. Urusan perut dan nafkah sering membuat orang melupakan keberadaan orang lain demi tuntutan kebutuhan sendiri. Mungkin pemahaman itu juga yang membuat para penumpang yang berdiri memilih hanya mengomel dalam hati.
Seorang pedagang laki-laki membawa sekeranjang onde-onde yang terlihat hangat tepat di depanku. Aroma manis bercampur gurih langsung menguar dari keranjangnya. Begitu menggoda. Menggelitik indra penciumanku, kemudian mengirimkan sinyal-sinyal ke perutku, dan disambut dengan gegap gempita senandung orkes keroncong dari seluruh organ percernakanku.
Rasanya tak tertahankan. Ingin sekali menggigit bulatan-bulatan berwarna kuning kecokelatan yang bertabur wijen itu. Bulatan menggiurkan itu membuat air liurku nyaris menetes dari mulutku. Aku menelan ludah berulangkali.
Entah kenapa, sepertinya pedagang itu seperti bisa melihat air liur yang kutelan dengan sangat terpaksa karena begitu menginginkan dagangannya.
Ingin sih ingin. Sangat ingin, malah. Tapi, dengan apa aku harus membelinya?
Astaga!
Mungkin dari masih bayi sampai sedewasa ini, belum pernah dalam sejarah hidupku, aku tidak bisa membeli sesuatu yang kuinginkan. Apalagi hanya sekadar onde-onde sebiji yang harganya seribu rupiah! Dalam kondisi biasa, aku bisa langsung memborong semua onde-onde beserta keranjangnya sekalian.
Namun, sekarang? Kondisiku terasa sangat menyedihkan dengan dompet yang sudah terlanjur melayang entah ke mana. Tak tahu lagi rimbanya.
Beginikah rasanya nelangsa?
Ketika ada sesuatu yang sangat kita inginkan di depan mata, namun kita tidak mampu untuk mendapatkannya. Atau, bahkan kesempatan untuk menyentuhnya saja juga tidak bisa.
“Onde-onde, Pak. Masih anget.”
Pedagang itu menawarkan dagangannya seraya mengambil satu onde-onde dengan capit dan mengangkatnya lebih dekat ke mukaku.
“Pegang saja kalau Bapak nggak percaya. Murah meriah, Pak. Cuma seribu rupiah!”
Aku menggeleng cepat. Buru-buru menarik kepala agak ke belakang. Menghindari godaan aroma harum nikmat gurih bulatan dalam capit yang tadi nyaris menyentuh hidungku.
Sekarang, aku paham dan mengerti bagaimana menghargai sebuah nilai uang. Betapa pun kecil pecahannya. Betapa berharganya nilai uang seribu rupiah. Selembar uang yang sering kuabaikan keberadaannya di dompetku. Apalah artinya dibandingkan lembaran-lembaran warna merah seratus ribuan sebagai penghuni tetap. Paling sering aku menyerahkan lembaran ribuan pada Jito untuk memberi pengamen di perempatan lampu merah. Hanya sebatas itu. Selama ini nilai uang seribu tak berarti apa-apa bagiku. Tidak ada bedanya dengan logam recehan seratus rupiah. Seharusnya aku ingat omongan orang-orang yang sering kudengar, duit sejuta kalau kurang seratus rupiah, ya nggak jadi sejuta! Itu perumpaan yang sering kudengar.
Dan sekarang, tumpukan onde-onde di keranjang itu seolah mewakili dendam kesumat uang seribuan yang selama ini sering kuremehkan. Mereka bersekongkol dengan onde-onde itu untuk mengejekku. Saat ini aku benar-benar menerima balasannya.
Aku kembali menelan ludah dengan sangat terpaksa. Menekan keinginan yang tak mungkin kupenuhi, sekaligus merasakan perihnya perutku yang terasa melilit minta diisi.
“Ayolah, Pak. Beli satu juga nggak apa-apa. Untuk penglaris saja. Saya baru keluar, belum laku sama sekali,” bujuk pedagang itu terlihat ngotot.
“Maaf, Mas. Saya lagi puasa...” Jawaban ngawur itu terlontar dari mulutku dengan rasa pahit yang teramat pekat.
Puasa?
Wah, bisa turun hujan badai saat itu juga kalau aku benar-benar sanggup puasa dalam perjalanan seperti ini. Sebuah kebohongan yang mengerikan. Aku berdoa dalam hati semoga Tuhan sudi mengampuni.
“Oh, maaf… maaf…” Muka pedagang itu begitu penuh penyesalan sambil buru-buru berlalu melewatiku. “Maaf, Pak. Saya nggak tahu Bapak lagi puasa.”
Satu tarikan napas putus asa berhembus dari mulutku. Semestinya akulah yang harus minta maaf. Pertama, kepada Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penyayang, karena aku sudah menjadikan sebuah ritual ibadah sebagai alasan untuk berbohong. Dan kedua, pada pedagang onde-onde karena selain membohonginya, aku juga telah membuatnya merasa bersalah.
Baru saja godaan bulatan onde-onde lewat, sudah muncul lagi godaan berikutnya, berwujud seorang ibu gendut menyangga sebuah baskom di bahu kirinya yang penuh berisi berbagai makanan. Mulai tahu asin kecil-kecil yang dibungkus plastik, pisang rebus yang terlihat kuning menggoda, ada nanas yang terlihat segar dibungkus plastik, dan membuatku harus menelan ludah untuk kesekian kalinya. Juga ada kacang rebus yang diikat menggoda.