Antara Surabaya dan Solo via Bus Ekonomi

Netty Virgiantini
Chapter #11

Rasa Apakah Ini?

Bus hanya memutar perlahan dalam terminal tanpa berhenti, tapi sempat menaikkan seorang pedagang asongan lagi.

Gethuk pisang… gethuk pisang…!!!

Terdengar teriakan pedagang asongan dari arah belakang. Begitu mendengar nama makanan diteriakkan, perutku kembali melintir. Menunjukkan aksi protes yang belum bisa kepenuhi sampai saat ini.

Ya ampun, rasa melilit ini membuat perutku seperti dicengkeram sebuah tangan dengan sangat keras. Aku sampai meringis menahan rasa nyerinya.

Semoga, pedagang gethuk pisang itu tidak berdiri di depanku. Jangan sampai keberadaannya menyiksaku seperti pedagang onde-onde tadi, aku berdoa dengan sungguh-sungguh dalam hati.

Namun, sepertinya hari ini tak ada doa atau pun harapanku yang bisa terkabul. Lihat saja, pedagang itu memang tidak berhenti di depanku, tapi lebih tepatnya di sampingku. Dan tangannya yang memegang gethuk pisang terulur tepat di depan mukaku. Aku memandangi bungkusan daun yang mirip lontong dan menguarkan aroma yang menggoda iman itu dengan geram. Cepat, kutepiskan makanan itu dari depan mukaku. Jangan sampai aku gelap mata dan tanpa sadar langsung menggigitnya!

Pedagang itu merasa tersinggung rupanya.

“Kalau nggak mau beli, jangan kasar begitu, Bos. Seenaknya saja sama wong cilik. Sampeyan nggak ngerti gimana rasanya nggak punya uang. Nggak bisa makan. Mbok ya yang sopan sedikit kalau menolak!” omelnya dengan suara keras, yang aku yakin bisa didengar dari ujung depan sampai belakang bus.

Untuk kesekian kalinya rasa malu harus kembali kuterima. Pasti hampir seluruh mata tertuju padaku dengan tatapan tak bersahabat. Termakan tuduhan pedagang gethuk pisang yang tak tahu kondisiku yang sebenarnya.

Bukannya aku sengaja mau bersikap kasar padanya, keluhku dalam hati. 

Sumpah. Tadi itu, hanya reaksi spontan saja. Aku lapar. Tak punya uang barang sepeser pun untuk beli makanan. Tapi, aku juga tidak mungkin menjelaskan kondisiku yang sebenarnya pada seluruh penumpang dalam bus ini. Jadi, yang bisa kulakukan hanyalah pasrah menerima sekian banyak sorot mata tajam, dengan perut yang semakin melintir tak karuan.

 Kali ini, aku malah bersyukur bus mulai melaju gila-gilaan lagi. Ngebut dan ngepot kembali. Setidaknya perhatian para penumpang tidak lagi tertuju padaku. Semua terlihat waspada dengan pandangan terarah ke depan.

Dengan tubuh terayun-ayun, pandanganku lurus menembus jendela kaca yang terbuka. Sepanjang jalan yang terlewati aku sempat membaca sebuah papan nama toko, yang membuatku tahu kota yang tengah kulewati bernama, BARON.

Dari kaca jendela bus, pandanganku beralih pada ibu yang duduk di dekat jendela, yang tadi muntah-muntah. Sekarang di nampak memejamkan mata dengan wajah terlihat sangat pucat menyandarkan kepalanya pada sandaran belakang kursi. Untuk sementara, bayinya masih diurus oleh gadis berjaket merah, yang terlihat memindahkan posisi kepala bayi ke lengannya sebelah kiri.

Tiba-tiba saja di kepalaku muncul beberapa pertanyaan yang jelas-jelas tidak ada hubungannya denganku. Dimanakah suaminya? Kenapa tidak mengantarkan istri dan anak bayinya pergi? 

Pasti suaminya jenis laki-laki yang tak bertanggung jawab, tebakku dalam hati. Entahlah, sejak bertemu gadis bermata bulat dan berjaket merah ini, aku jadi punya kebiasaan menebak orang lain dengan versiku sendiri. Mengira-ngira sesuka hati.

Di manakah suaminya? Pertanyaan itu kembali berulang di kepalaku. 

Lihat selengkapnya