Antara Surabaya dan Solo via Bus Ekonomi

Netty Virgiantini
Chapter #12

Cukup Sampai di Sini

Bus berbelok ke kanan. 

Mengurangi kecepatan saat memasuki terminal Nganjuk. 

Begitu bus berhenti, seolah terjadi benturan dari dua arus yang sama-sama merangsek di pintu bus. Antara penumpang yang hendak turun melawan para pedagang asongan yang sudah berlari mencapai pintu bus dan bersemangat untuk segera naik. Bergerombol. Siap menyerbu, seperti sepasukan tentara yang mendapat komando dari jendral perangnya, SERBUUUU...!!!

Terjadi kegaduhan di pintu depan dan belakang. Membuat kondektur bus jadi emosi dan berteriak-teriak dengan suara cukup keras penuh amarah, “Biar penumpangnya turun dulu! Biar yang turun dulu! Kasih jalan! Kasih jalan!”

Namun, teriakannya tidak banyak mengubah keadaan. Suasana tetap kacau balau. Tubuhku terdorong dan terhimpit di tempatku berdiri. Lagi-lagi beberapa kaki seenaknya bergantian menginjak sepatuku tanpa peduli. 

Sekitar lima menit kemudian, suasana sudah agak mendingan. Lumayan agak tenang. Tinggal beberapa pedagang saja yang hilir-mudik tanpa henti. Jumlahnya tidak sebanyak tadi. Seorang penumpang yang duduk di bangku depan sebelah kanan, terlihat membeli teh botol dingin yang terlihat dari embun yang mengalir di luar botolnya. Isi botol itu menyusut dengan cepat lewat sedotan berwarna merah.

Hmmm… sluuurrrpppp…

Lagi-lagi aku hanya bisa menelan ludah berulangkali memandangnya, seperti ikut merasakan kesegarannya. Mungkin saking putus asanya, aku mencoba peruntungan yang sia-sia. Dengan penuh semangat kurogoh saku celana depan-belakang-kiri-kanan. Kemudian berlanjut ke saku kemeja, berharap ada selembar uang seribuan baik hati yang terselip dan terpegang oleh tanganku. Lumayan untuk beli es teh dalam plastik yang barusan lewat di sampingku.

“Es teh, Pak?” tanya penjual itu menghentikan langkah di sampingku begitu melihatku merogoh-rogoh semua saku yang ada di kemeja maupun celanaku.

Huf! Aku mengeluh dalam hati. Ketika tanganku tetap tak menemukan apa pun di semua saku. Rasa kecewa langsung menghantam dadaku.

“Mau es teh, Pak?” Penjual itu mengulangi pertanyaannya.

“Nggak… nggak…,” tolakku sambil mengangkat tangan.

“Ealah, tak kira mau ngambil uang di saku buat beli,” gerutu penjual es teh. “Ternyata cuma ngecek sakunya apa ada yang bolong ya, Bos?”

Penjual es teh itu segera berlalu ke belakang meninggalkan rasa malu yang memanaskan wajahku.

Beberapa pengalaman dengan penjual makanan membuatku berjanji, tidak akan lagi menyia-nyiakan uang seribuan. Seandainya bisa, aku bakal minta maaf padanya. Akan keperlakukan sebaik aku memperlakukan uang seratus ribuan. Karena sekarang, dalam kondisi merana seperti ini, rasanya aku begitu merindukan sekaligus membutuhkan pecahan uang yang sering kuanggap tak berarti.  

 Sesaat, pandanganku langsung tertuju pada gadis berjaket merah di depanku. Tangannya melambai ke arah penjual teh botol yang barusan memasukkan uang dalam saku. Posisi berdirinya masih di samping bangku depan sebelah kanan. Begitu si penjual minuman itu beranjak mendekat dan meletakkan termosnya yang terasa dingin di dekat kakiku, aku langsung memaki gadis itu dalam hati. 

Sialan! 

Apa dia sengaja mengejekku? Apa dia tahu aku kehausan tapi tak punya uang untuk beli minuman? 

Mataku terpaku pada termos berisi beberapa botol minuman yang diletakkan diantara es batu yang seperti melambai-lambai padaku. Dengan tangan kanannya gadis itu mengambil sebotol Sprite dingin dari termos. Dengan sigap penjualnya membukakan tutupnya dan memasukkan sedotan merah. Gadis itu menyodorkannya pada ibu di sebelahnya yang masih terlihat pucat dan lemas setelah muntah-muntah.

“Mbak, suaminya nggak dibeliin sekalian? Kelihatannya haus tuh, Mbak!” Pedagang itu berkata sambil memandangku dengan tatapan prihatin seolah bisa melihat tenggorokanku yang sudah mengering. “Dari depan tadi suami sampeyan sudah ngeliatin saya terus lho, Mbak. Kayaknya pengin beli teh botol juga.”

Eits... Tunggu dulu! Suami? Ini lebih parah lagi. Tadi sudah disangka pacar. Sekarang malah dituduh suami! Kesalahpahaman ini harus segera diluruskan.

 “Saya bukan suaminya, Mas!” ralatku cepat. 

Cukuplah tiga kali orang menuduhku pacar gadis berjaket merah itu.  Cukup sampai di sini.

 “Oh, jadi bukan suaminya to? Masih pacaran ya, Mas?” 

“Bukan juga!” 

Penjual itu memandang bergantian padaku dan gadis itu dengan sorot mata penuh kecurigaan. “Suami bukan. Pacar juga bukan. Jangan-jangan selingkuhan...” bisiknya sambil mengedipkan sebelah matanya ke arahku. “Zaman memang sudah edan. Zamannya sudah tua. Sudah mau kiamat. Orang selingkuh sudah nggak dianggap dosa. Biasa. Lumrah. Edan... edan... Edan tenan!”

Aku mendelik marah tanpa sanggup membuka mulut. Kurang ajar. Dasar penjual kurang kerjaan. Apa urusannya menebak-nebak hubunganku dengan gadis ini. Mungkin karena pengaruh termos bawaannya yang kelihatannya berat, pikirannya jadi ngawur. 

Ngawur? Bukankah, otakku juga sering ngawur sejak tadi? Atau mungkin kami berdua sama-sama lapar. Jadi, sama-sama ngawur. Entahlah.

Sayangnya, karena terlalu asyik mengurusi si ibu dan bayinya, gadis di sampingku ini jadi tak tahu tuduhan-tuduhan yang ditujukan penjual ini. Aku tak bisa melihat reaksinya dalam kondisi begini. Akankah dia tetap diam saja tak peduli, atau akan memprotes lewat sepasang mata bulatnya?

Lihat selengkapnya