Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Peribasa itu sering kudengar sejak zaman masih SD dulu, tapi tak begitu kupedulikan apa artinya. Dan hari ini, aku jadi paham apa arti sebenarnya pepatah itu. Setelah begitu banyak kemalangan menimpaku, ternyata nasib baik belum mau menyapaku. Sepertinya kemalangan tidak juga mau meninggalkanku. Padahal aku sudah memutuskan untuk menyerah. Mengaku kalah. Dan rela jadi seorang pecundang. Bahkan aku telah mengibarkan bendera putih tanda menyerah tanpa syarat.
Demikian juga kemalangan yang menimpaku ini, sungguh tak sanggup kutolak atau kuhindari lagi. Aku yang terlalu bersemangat untuk menelepon Romi, tidak memperhatikan kondisi di depan bus. Tiba-tiba saja aku merasakan bus dibanting ke kiri cukup keras dan rem diinjak mendadak yang menimbulkan bunyi decitan melengking saat roda beradu dengan aspal jalanan. Selanjutnya terdengar jeritan keras para penumpang.
Kejadiannya berlangsung sangat cepat. Seolah kilatan bliz dari sebuah kamera. Aku yang tengah berdiri bebas tanpa berpegangan, seketika tubuhku serasa dilontarkan ke depan. Seperti sebuah peluru kendali melesat cepat dengan kepala membentur satu benda keras. Dunia jadi gelap seketika. Sementara aku seperti berada di dunia yang berbeda. Aku masih bisa mendengar kegaduhan; suara tangisan, jerit kepanikan, dan erangan kesakitan penumpang yang mungkin terluka di sekitarku. Suasana gaduh perlahan menghilang bersamaan dengan melayangnya kesadaranku.
Beberapa saat berada dalam kegelapan, lambat-laun suara-suara mulai muncul kembali di telingaku. Belum sepenuhnya kesadaranku kembali, tiba-tiba ada tangan seseorang yang memegang bahuku.
“Pak… Pak… Bapak bisa dengar suara saya? Apanya yang sakit, Pak? Mumpung mobil yang bawa orang-orang ke rumah sakit belum berangkat.”
Aku mencoba membuka mata yang terasa begitu berat. Samar-samar kulihat wajah pak sopir yang tangannya masih memegang bahuku dan tengah duduk berjongkok di depanku. Matanya terus mengamatiku dengan cemas.
Beberapa saat aku masih tetap diam, menunggu sampai bisa melihat wajahnya lebih jelas lagi. Aku menggeleng pelan dan mengamati posisiku yang ternyata terduduk di atas kap mesin disamping sopir. Kepalaku terasa berdenyut keras yang berpusat di dahi kanan. Perlahan, ragu-ragu, dan takut, aku meraba tempat yang terasa sakit dengan tangan kanan.
Aku berdoa dalam hati semoga tidak ada cairan merah yang mengalir di sana.
Oh, syukurlah.
Tanganku tidak menyentuh sesuatu yang basah. Untuk meyakinkan diri sendiri, kuamati dengan saksama telapak tanganku lekat-lekat. Tetap tidak ada warna merah menempel di sana. Walaupun kepalaku makin terasa berat, aku mengembuskan napas lega.
“Gimana? Kalau mau terus melanjutkan perjalanan, sampeyan bisa langsung pindah ke bus di depan. Itu masih satu armada dengan kami. Tapi, kalau sampeyan merasa perlu ke rumah sakit, segera turun. Soalnya mobil yang mengangkut orang-orang yang luka sudah mau berangkat.”
Selesai bicara pak sopir yang tadi duduk berjongkok di depanku segera berdiri dan pergi untuk mengurusi penumpang lain yang terluka.
Aku hanya sanggup mengangguk pelan.
Berangsur-angsur para penumpang yang lain mulai meninggalkan bus. Beberapa yang terluka sudah dibawa dengan mobil pribadi yang dihentikan di jalan. Dan yang bisa melanjutkan perjalanan segera pindah ke bus yang berhenti tepat di depan. Sampai akhirnya bus terasa kosong.
Lengang.
Tinggal aku seorang diri yang masih duduk dengan kepala berdenyut keras sambil meratapi kejadian ini.
Suasana jadi terasa begitu sepi.
Mencekam.
Mengapa aku jadi merasa sendiri di tempat ini?
Padahal di luar bus, masih terdengar gaduh suara penumpang yang lain. Tapi aku saja merasa sunyi.
Jiwaku kosong. Hampa.
Sepi. Sendiri.
Rasanya begitu menyiksa hati.
Seumur hidup, belum pernah aku merasakan kesepian yang mencekam seperti ini. Seolah aku terdampar di sebuah pulau terpencil di tengah lautan belantara, luas membentang tanpa batas. Hanya ada aku seorang diri.
Tanpa saudara. Tanpa teman. Juga tanpa perempuan.
Ketika aku masih terlarut dalam perasaan merana di tengah samudra kesunyian, sebuah tangan terulur menyentuh tanganku. Jemarinya yang terlihat mungil di tanganku terasa mengalirkan kehangatan begitu kulit kami bersentuhan. Rasa hangat itu perlahan mengusir siksaan sepi yang mencengkeram batinku.
Begitu mengangkat kepala, aku melihat gadis berjaket merah itu mencoba menarik tubuhku supaya berdiri. Sudah tidak ada bayi mungil dalam dekapannya. Juga tidak kulihat si ibu dan bayinya yang tadi duduk di sampingnya. Tas ransel warna biru masih menempel di punggungnya dan tangan kirinya menenteng travel bag hitam punyaku.
Bagaimana travel bag itu bisa ada padanya?
Bukankah tadi selalu kuselempangkan di bahu kiriku? Entahlah, kepalaku terlalu pusing untuk memikirkan hal yang terasa sepele seperti itu.
Pandangan mataku justru langsung tertuju pada sepasang mata bulatnya yang tidak lagi melotot galak. Dua bulatan itu memancarkan satu kelembutan yang terasa tulus menyentuh hatiku. Dan membuatku tak bisa mengalihkan tatapan darinya.