Antara Surabaya dan Solo via Bus Ekonomi

Netty Virgiantini
Chapter #14

Malaikat Judes

Bus berhenti sesaat di pertigaan lampu merah.

Kemudian bus memutar ke kanan masuk terminal Maospati. Terminal singgah yang tidak sebesar terminal-terminal sebelumnya. Bus berhenti sekitar beberapa saat untuk mencari tambahan penumpang. Ya ampun, padahal di dalam bus masih berjubel penumpang yang berdiri. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah tidak ada kata cukup untuk para awak bus dengan penumpang yang berdesak-desakan seperti ini?

Gadis di sebelahku segera mengikat tas kresek berisi muntahanku. Aku begidik. Jijik. Padahal itu kan muntahanku. Kalau posisinya dibalik, gadis itu yang muntah, apakah aku mau repot-repot membantu seperti yang dilakukan gadis itu? Sejujurnya, aku tidak bakal mau. Ah, mungkin kehidupanku selama ini telah membentuk diriku menjadi pribadi yang egois. Kehidupan yang selalu berkecukupan dan belum pernah tersentuh kekurangan. Sungguh aku kagum. Juga terharu dengan perhatian gadis yang masih sering melotot galak itu. 

Aku terus mengamati saat gadis itu beranjak dan setengah berlari menyelinap di antara sela-sela penumpang yang berdiri. Mau ke mana dia? Ternyata gadis itu turun dari bus untuk membuang tas kresek berisi muntahanku ke tong sampah dekat pos penjagaan. Kenek bus masih berdiri membayar retribusi di pos penjagaan itu. 

Tatapanku terus terpaku pada gadis itu, lewat dari kaca jendela bibirku bergerak pelan. Bergumam, “Terima kasih...” 

Siapakah sebenarnya gadis itu? Mungkinkah dia seseorang yang sengaja dikirimkan Tuhan khusus untuk menolongku melewati perjalanan berat ini? Ah, tapi aku ragu. Apakah Tuhan berkenan mengirimkan malaikat penolong untuk manusia sepertiku? Kalian kan tahu, aku laki-laki yang suka main perempuan. Perbuatan yang sangat dilarang di dalam ajaran semua agama dan kepercayaan.  

Sudahlah. 

Tak perlu dipikirkan.

Aku pun tak sanggup memikirkannya lebih dalam.

Ilmu dan kondisi tubuhku tak mampu untuk memahaminya.  

Percaya saja bahwa semua yang terjadi di dunia ini, hal sekecil apa pun, pasti sudah atas izin dari Tuhan penguasa semesta ini. 

Sesaat kemudian dia kembali duduk di sampingku. Menundukkan tubuh dan terlihat sibuk mencari-cari sesuatu di dalam tas ransel di bawah kakinya. Begitu menegakkan tubuh, di tangan kirinya sudah ada satu gelas air mineral. Sementara tangan kanannya berusaha menusukkan sedotan ke arah tutup gelas. Setelah berhasil, dia menyodorkan gelas air mineral itu kepadaku. 

Tanpa ambil tempo, aku langsung menerimanya dan menyedotnya dengan kecepatan penuh.

Lega rasanya. 

Benar-benar  lega sampai melapangkan dada. Karena guyuran segelas air mineral tadi, bisa menggelontor sisa-sisa muntahan di tenggorokkanku yang terasa tak enak dan menganggu. 

Risih. 

Segelas air mineral itu sekaligus berguna mengisi perutku yang masih terasa perih melintir karena lapar.

Mungkin karena perut lapar bercampur kecapekan, mataku hampir terpejam saat bus mulai keluar dari terminal Maospati, dan berbelok ke kiri melaju di jalan raya kembali. 

Segala keinginan, niat, juga hasrat untuk menghubungi Romi dan menyerah seperti yang akan kulakukan sebelum terjadi kecelakaan tadi, terlupakan begitu saja. Saat ini, aku hanya ingin memejamkan mata. Terlelap sejenak untuk melupakan segala kemalangan dan kesialan yang sepanjang hari ini terus mendera. 

Lihat selengkapnya