“NGAWI! TERMINAL LAMA!”
Teriakan kenek bus membangunkanku. Dengan malas aku membuka mata yang terasa berat. Rasa nyeri masih berdenyut di dahiku. Dari lampu setopan, bus berbelok ke kiri perlahan, melewati terminal Ngawi lama.
Laju bus terasa mulus melewati jalan aspal yang terlihat baru saja diperbaiki.
Sepuluh menit kemudian bus berbelok ke kanan. Memasuki terminal baru kota Ngawi yang terpampang tulisan Terminal Kertonegoro yang terlihat megah. Begitu bus berhenti di dalam terminal, hiruk pikuk yang sudah tidak asing lagi terdengar riuh menyeruak dalam bus. Keributan yang mempertemukan dua arus kekuatan. Penumpang yang hendak turun dengan serombongan pasukan pedagang asongan yang sudah tidak sabar untuk menyerbu ke atas. Di celah ruang tengah antara deretan kursi, para pedagang seperti air mengalir yang tiada henti.
Gadis di sampingku terlihat melambaikan tangannya pada seorang pedagang minuman yang membawa termos es. Begitu pedagang itu berhenti dan membuka termos es yang dibawanya, terlihat tumpukan es dalam bungkus plastik kecil berwarna merah dan hijau yang sering kami sebut es lilin. Gadis itu mengambil satu yang berwarna hijau dan menyerahkan dua logam uang limaratusan dari kantong jaket merahnya. Kemudian es itu di bungkusnya dengan beberapa lembar tisu. Perlahan dia memutar tubuhnya ke arahku. Dan mengulurkan tangan kanannya yang memegang es.
Kedua alisku terangkat melihatnya.
Dia terlihat agak kesulitan saat berusaha menempelkannya di dahiku yang benjol. Tentu saja karena postur tubuhku yang jauh lebih tinggi darinya.
Oh, ternyata dia ingin mengompres benjol di dahiku.
Aku segera memutar badan dan menundukkan untuk memudahkannya.
Rasa dingin langsung meresap di kepalaku begitu permukaan tisu pembungkus es menempel pada benjolan sebesar telur ayam di dahiku. Lumayan. Bisa sedikit mengurangi rasa nyeri.
Dalam posisi begini, kami bisa saling berhadapan lumayan dekat. Wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dariku. Bisa kurasakan embusan napasnya yang mengusap lembut wajahku. Tatapan mataku yang sejajar dengan sepasang bibirnya yang terkatub rapat.
Heran.
Bagaimana mungkin aku merasa senang hanya dengan memandang sepasang bibirnya?
Biasanya, dalam posisi sedekat ini bersama perempuan, aku tak tahan untuk segera mencium dan melumat bibirnya dengan penuh nafsu.
Pandanganku yang tak bisa beralih barang sedetik pun dari sepasang bibirnya yang masih terus terkatub. Tertutup. Rapat.
Dalam kepalaku langsung terdengar lagu Iwan Fals:
Mata indah bola ping-pong, masihkah kau kosong
Bolehkah aku membelai bibirmu yang aduhai…
Engkau baik, engkau cantik...
Eh, cantik?
Nggak juga!
Wajahnya sederhana.
Biasa saja.
Gadis ini kelihatannya mempunyai pengaruh yang begitu kuat padaku. Lihat saja, aku hanya bisa terpaku diam tanpa bisa mengalihkan pandanganku dari sepasang bibirnya. Terus memandangnya seolah belum pernah melihat sepasang bibir perempuan sebelumnya.
Tiba-tiba, aku merasa ada semburan amarah tertuju padaku. Mengikuti naluri, kuangkat kepalaku perlahan. Tatapan mataku langsung terperangkap dalam sepasang mata bulat yang menyorot marah padaku.
Serta merta dia menarik tangan kanannya yang tengah mengompres dahiku. Mungkin tanpa kusadari dia telah memergoki tatapan mataku yang terus memandang bibirnya. Tanganku buru-buru menggantikannya, sebelum es yang menempel di dahiku terjatuh.
Setelah melepaskan es dari dahiku begitu saja, gadis itu memutar tubuh dan duduk dengan sikap khasnya. Santai dan tidak peduli. Ada penyesalan yang menyesakkan karena saat-saat kami berhadapan dalam posisi yang sangat dekat tadi harus berakhir. Ada rasa kehilangan yang membingungkan.
Sekarang, lihatlah gayanya. Kok, bisa-bisanya dia berlagak seolah aku tak ada di sampingnya. Seolah dia tengah duduk santai seorang diri di sebuah taman yang indah penuh bunga dan kupu-kupu beterbangan di sekitarnya. Mungkin dia menganggap aku ini hanya sebuah patung dengan dahi benjol pelengkap keindahan taman. Dan sebuah patung memang tidak untuk dipedulikan. Sikapnya menunjukkan rasa tak peduli. Masa bodoh.
Gadis itu benar-benar tak peduli. Bahwa ada seorang laki-laki yang merasa begitu merana hanya karena ditinggalkan oleh tangan mungilnya.
Hai, Nona! Cobalah tengok laki-laki merana di sampingmu ini!
Hoi...!!!
Sialan.
Aku bertekad tidak akan membiarkan emosiku berkembang dan mengambil alih kendali diriku. Tidak akan. Aku bersumpah dalam hati. Tidak akan pernah terjadi!