Sekitar lima ratus meter dari perempatan lampu merah, bus berbelok kekanan.
Bersamaan dengan bus masuk terminal, berakhir juga konser para pengamen. Aku menarik napas lega dan mengucap syukur. Akhirnya konser ini benar-benar sudah selesai.
Bus hanya berhenti sesaat. Tidak ada penumpang baru yang naik. Juga tidak ada pedagang asongan yang menyerbu naik. Suasana jadi terasa lebih tenang. Nyaman. Bus kembali melaju tenang keluar terminal menyusuri jalan raya yang diapit areal persawahan di kiri kanan. Aku mengalihkan pandangan dari jendela ke samping kanan.
Lho, apa yang terjadi pada gadis yang duduk di sampingku ini?
Kepalanya masih tertunduk di dadanya. Badannya terayun-ayun ke kiri dan kanan seperti orang tak sadarkan diri. Setelah kuamati agak lama, sepertinya dia tengah terkantuk-kantuk. Maklum. Sepanjang perjalanan dari Surabaya dia terus terjaga. Malah harus mengurusi bayi dan ibunya yang mabuk. Masih ditambah mengurusi benjolan di kepalaku ini. Mungkin sekarang kecapekan.
Aku masih serius memperhatikannya. Ketika tiba-tiba bus melalui jalan bergelombang dan bergoyang lumayan keras. Tubuh gadis itu ikut terayun ke samping dan terjatuh begitu saja di pangkuanku.
Matanya masih terpejam rapat. Kepalanya tepat terbaring di atas paha kiriku. Aku jadi bisa melihat samping wajahnya. Alis tebalnya di atas mata kanannya seperti tidak pernah dicukur atau ditato. Hidung mancungnya yang terlihat meruncing dari samping. Dan... bibirnya yang setengah terbuka. Dan perlahan meneteskan air liur pada celana panjangku.
Eh...?!
Kok, bisa tidur ngiler sembarang begini?!
Biasanya, aku paling jijik melihat orang dewasa tidur ngiler. Karena perempuan-perempuan yang sering tidur bersamaku, tak satu pun meneteskan air liurnya waktu terlelap. Mungkin mereka sudah mempelajari etika tidur yang baik dan memesona. Setiap kali aku terbangun, mereka terlihat lelap di pelukanku dengan mulut tersenyum menggoda yang sedap dipandang mata.
Pasti gadis yang satu ini tidak pernah belajar etika tidur yang memesona. Sudah seenaknya tidur di pangkuan orang, masih ditambah mulut ternganga dengan air mengalir lancar dari mulutnya.
Tapi kenapa kali ini aku tidak merasa jijik melihatnya?
Rasanya aku santai-santai saja. Justru dengan senang hati terus mengamatinya. Ada rasa geli waktu memperhatikannya. Padahal pahaku sudah terasa basah terkena resapan air liurnya.
Tidak ada keinginan untuk membangunkan. Atau diam-diam memindahkan kepala dari paha kiriku. Saat ini, aku justru tengah berjuang keras mengepalkan kedua tanganku erat-erat. Menahan diri karena ingin mengusap lembut pipinya. Ternyata aku tidak hanya ingin mengusap pipinya saja. Melihatnya terlelap damai, aku bahkan ingin sekali mengangkat kepalanya dan mendekap erat di dadaku. Bukan dengan nafsu seperti yang biasa kurasakan dengan para perempuan yang tidur bersamaku.
Yang ini terasa beda.
Sungguh.
Rasanya sangat berbeda.
Di saat bersamaan, aku juga tengah berjuang mengatasi debaran-debaran halus di dadaku. Ada sebuah perasaan aneh yang tidak biasa. Sebuah perasaan yang sulit kujelaskan. Sebuah perasaan yang baru pertama kali kurasakan.
Tidak!
Aku tidak boleh larut begitu saja dalam situasi seperti ini.
Harus kuakui, campuran sikap tidak peduli, galak, dan sifat penolongnya, memang menarik. Bahkan mungkin lebih dari sekadar menarik.
Namun, bila ketertarikan ini membuatku jadi kehilangan kontrol diri, lebih baik aku berhati-hati. Harus lebih waspada.
Hati-hati, Bram!
Ingat pesan Bang Napi, “Waspadalah… waspadalah… waspadalah…!!!”
Sebagai usaha untuk mengalihkan perhatian, dengan sekuat tenaga kupejamkan mata rapat-rapat. Gadis ini kelihatannya mempunyai pengaruh yang bisa menyulitkanku. Hal ini jelas membuatku khawatir. Sangat khawatir.
Sialan.
Nyatanya mataku tidak mau terpejam terlalu lama. Dan kini kembali terbuka dan terpana menatap seraut wajah di pangkuanku.
Karena tidak bisa mengalihkan pandangan, aku berusaha keras untuk mengingatkan diriku sendiri untuk tetap berpikir jernih. Harus tetap sadar sepenuhnya. Aku mencoba memikirkan hal-hal lainnya.
Bidadari Larasati.
Juga Romi.
Aku nyaris tertawa mengingatnya. Romi pasti syok begitu melihatku turun dari bus di terminal Solo. Atau, dia justru akan menjadi gila sepanjang sisa hidupnya karena untuk pertama kalinya kalah taruhan denganku. Apalagi dia juga harus menyerahkan mobil barunya. Aku tak sabar ingin melihat bagaimana raut mukanya nanti.
Sejujurnya, aku sendiri nyaris tak percaya kalau masih sanggup bertahan sampai saat ini. Tetap duduk tenang di dalam bus untuk melanjutkan perjalanan yang cukup mengerikan.
Suara kenek bus kembali terdengar berteriak keras,