Perlahan bus berbelok ke kiri, masuk terminal.
Berhenti sejenak di pos retribusi untuk menurunkan kenek dan langsung berputar mundur di tempat penurunan penumpang.
Aku melihat arloji di tangan kiriku, jam jam menunjukkan pukul 15.30 WIB.
Saking gembiranya bisa sampai di Solo, aku baru menyadari kalau gadis bermata bulat sudah tidak ada di sampingku. Setengah bingung mataku jelalatan mencarinya di seluruh bagian dalam bus.
Akhirnya, mataku menangkap sosoknya dengan jaket merah dan tas ransel biru di punggungnya tengah terhimpit berdesakan di pintu depan bus. Seperti bisa merasa kalau aku tengah mencarinya, kepalanya menoleh sesaat ke arahku. Aku baru saja berdiri sambil mencangklongkan travel bag hitam di bahu. Pandangan matanya hanya tertangkap sekilas olehku. Ketika aku melambaikan tangan padanya, gadis itu langsung membuang pandangan ke arah lain.
Huh!
Aku merasa jengkel.
Juga menyesal telah melambaikan tangan padanya.
Sebenarnya aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Bagaimanapun selama perjalanan yang sangat berat dan sangat melelahkan ini, gadis itu sudah banyak menolongku. Lagi pula aku juga masih punya hutang padanya. Dan sudah berjanji untuk membayar ongkos karcis yang tadi pagi terpaksa dibayarinya. Namun, entah mengapa sikap tak peduli yang ditunjukkannya tetap membuatku kesal.
Gadis itu sudah turun dari bus ketika aku berjalan tergesa ke arah pintu depan dan disertai bentakan dari kondektur, “Cepat sedikit, Mas. Sudah diingatkan kalau mau turun segera berdiri dekat pintu!”
Aku sengaja tak menanggapi kemarahan kondektur bus. Setengah meloncat aku segera turun dari bus lewat pintu depan. Begitu kakiku menjejak aspal terminal, aku melihat sosok yang sangat kukenali. Seorang laki-laki berambut gondrong, berpostur tinggi, dan berkulit putih. Dia mengenakan jeans belel hitam yang warnanya sudah memudar dipadu dengan kaos polo hitam, padu padan yang semakin menegaskan sosoknya yang menawan di mata perempuan. Aku benci mengakui hal ini. Matanya terlihat jelalatan mengamati bus-bus dari Surabaya yang sedang sibuk menurunkan penumpang.
Bus Sinar Kehidupan sudah mulai bergerak untuk keluar dari Terminal Tirtonadi Solo melanjutkan perjalanan ke Jogja.
Aku benar-benar ingin tertawa melihat Romi. Sengaja aku menghampiri dari arah samping dan menepuk pundaknya keras-keras.
Romi meloncat kaget.
“Maaf, Bung. Anda harus menerima kenyataan pahit ini!” ejekku tepat di depan mukanya.
“Jancuk!” Romi misuh-misuh karena kukagetkan diam-diam.
Atau mungkin juga karena syok begitu tahu seberapa buruk nasibnya hari ini.
Belum selesai aku menertawakan kekalahannya, tiba-tiba ada satu kejutan lagi yang tidak terduga sama sekali.
“Pak Bram, Bapak baik-baik saja?” Sebuah suara yang sudah sangat kukenal mengagetkan dari arah belakang.
Begitu aku membalikkan badan, Jito tampak tergopoh-gopoh dengan raut muka cemas. Tapi kali ini, tidak membuatku iba sama sekali. Amarah langsung menggelegak di dadaku. Kalau menuruti emosi, ingin rasanya langsung memukulnya atau memecatnya sekalian dari pekerjaannya sebagai sopirku. Aku benar-benar marah karena kelancangannya muncul tanpa kuminta. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri.
“Aku sudah menduga,” ujar Romi dengan seringai sinis di bibirnya, “Mustahil kamu kuat melakukan perjalanan ini. Heh, aku sudah bisa membaca rencana curangmu hari ini. Jangan coba-coba mengibuliku. Aku tahu, kamu naik mobil sama Jito dan baru naik bus dekat-dekat terminal tadi. Taktikmu terlalu mudah dibaca, Bram!”