Antara Surabaya dan Solo via Bus Ekonomi

Netty Virgiantini
Chapter #18

Ada Apa Dengan Romi?!

Aku putus asa.

Tak tahu lagi harus bagaimana.

Jadi, apalagi yang bisa kulakukan saat ini, kecuali pasrah menerima kenyataan yang paling buruk sekali pun.

Namun, orang bijak berpesan, setelah kemalangan pasti ada keberuntungan. Setelah kesedihan pasti ada kebahagiaan. Karena memang begitulah hidup ini selalu berputar. Seperti pergantian antara siang dan malam. 

Aku pernah mendengar nasihat bijak itu. Setelah melewati perjalanan berat hari ini, membuatku terpaksa merenungkan banyak hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan sama sekali. Kebenaran kata-kata bijak itu seolah mengingatkanku akan hukum alam yang sudah digariskan Tuhan. 

Ketika aku sudah putus asa memikirkan gadis bermata bulat dan berjaket merah, dan satu-satunya harapanku untuk mendapatkan saksi dalam perjalanan. Tak kusangka masih ada sedikit keberuntungan untukku hari ini. 

Saat mataku yang terasa lelah memandang hilir mudik penumpang di sekitar terminal, tanpa sengaja sekilas tertangkap olehku satu paduan warna yang tidak asing bagiku. Merah berpadu dengan biru. Terlihat selintas diantara lalu-lalang begitu banyak orang. 

Aku menyipitkan mata untuk lebih menfokuskan pandangan. 

Terima kasih, Tuhan. Masih Kau berikan pertolongan pada hambamu yang hina ini, aku mengucap syukur dalam hati. 

Sekarang jelas terlihat sosok bertubuh mungil memakai jaket merah, dan tas ransel biru di punggungnya, dan tengah berdiri di depan sebuah kios buah. Dia sedang memegang sebutir jeruk di tangan kanan. Kelihatannya tengah tawar-menawar dengan penjualnya. 

Tanpa ada perintah dari otakku, kakiku langsung bergerak. Cepat. Bukan lagi melangkah, tapi berlari. Ya, berlari. Hanya butuh beberapa puluh ayunan kaki panjangku, tanganku sudah menyambar pergelangan tangan mungil yang masih memegang jeruk. 

Sekilas masih kulihat tatapan kaget si penjual buah. Tapi, saat ini, seluruh organ tubuhku seolah bekerja secara sistematis tanpa memerlukan koordinasi dengan otak terlebih dahulu. 

Tak kuhiraukan tatapan heran dan umpatan orang-orang yang hampir kutabrak karena aku terus berlari sambil menggelandang gadis itu di belakangku. Aku bahkan tidak peduli untuk menoleh sebentar ke belakang, sekadar melihat apakah langkah kakinya mampu mengimbangi jejak kakiku yang ukuran panjangnya hampir dua kali dari kakinya. Mungkin saja dia bakal terseret-seret di belakangku. Sungguh, satu tindakan di luar kebiasaanku. Sebejat-bejatnya diriku, aku tidak pernah berlaku kasar pada perempuan. Baik secara verbal maupun fisik. 

Tapi saat ini kesadaranku telah terbakar oleh ulah Romi. Dan bukti yang kuseret di belakangku ini adalah satu-satunya kunci yang akan membuat Romi tidak bisa berkelit untuk mencari alasan-alasan licik lagi. 

“Nih, saksinya!” Aku setengah berteriak sambil melempar tubuh mungil itu ke arah Romi. “Dia selalu di sampingku. Sejak dari Terminal Bungurasih. Mulai sebelum naik bus sampai tadi sama-sama turun di sini. Bahkan saat kami harus pindah bus karena terjadi kecelakaan di dekat terminal Madiun!”

Kaget. 

Romi langsung menangkap tubuh mungil yang kulempar ke arahnya. Kepala gadis itu membentur keras dada Romi, yang dengan sigap langsung memeluk tubuhnya dan berusaha menguatkan pijakan kakinya supaya tidak jatuh terjengkang ke belakang. 

Begitu gadis itu berhasil menarik tubuhnya dari pelukan Romi, mata Romi terbelalak dan mengucapkan sebuah nama seraya mengamati wajah yang mendongak padanya. “Ney-na...” 

 “Neyna! Kamu Neyna, kan? Adiknya Helmi!” teriak Romi dengan mata berbinar gembira, “Hei, Cah Ayu, coba lihat siapa pria ganteng di depanmu ini!”

“Mas Romi…”  Sebuah suara ringan, ceria, dan cukup merdu terdengar jelas di telingaku. 

Benar-benar terdengar di telingaku. 

Bukan di kepalaku! 

“Mas Romi?”

HAH! Aku tersentak dengan mulut ternganga. Kaget campur tidak percaya dengan telingaku sendiri. Aku tidak ingin memercayai pendengaranku saat ini. Jangan-jangan ini hanya sebuah halusinasi. Gadis bermata bulat itu bisa bicara dengan mulutnya. 

“Iya. Ini memang Mas Romi,” jawab Romi sambil menunjuk dadanya sendiri dengan jari telunjuknya, kemudian mengedipkan sebelah matanya dengan gaya menggoda, “Waduh, masak lupa sama pacar sendiri!”

Gadis itu menjawab dengan tawanya yang terdengar berirama seraya memukul bahu kiri Romi dengan kepalan tinjunya. Gerakannya terlihat sangat manja di mataku. 

Lihat selengkapnya