“Kamu kenal dia, Rom?”
Aku bertanya dengan mata masih terpaku pada sosok mungil berjaket merah dengan tas ransel biru bergoyang-goyang di punggung mengikuti irama langkahnya.
“Iya. Dia adiknya Helmi. Sahabatku waktu SMA. Dulu dia sering diajak Helmi ke mana-mana, namanya Neyna,” jelas Romi. “Lucu juga, wajahnya kok nggak pernah berubah dari zaman aku masih SMA dulu. Mungkin karena tubuhnya mungil jadi kelihatan awet muda. Atau mungkin juga karena aku selalu menganggapnya bocah cilik yang selalu nginthil, ngikutin ke mana pun Helmi pergi.”
Selesai berkata, tiba-tiba Romi tampak tertegun. Sejenak, dia menatap tajam padaku penuh curiga. “Kenapa memangnya kalau aku kenal dia?”
Wajah Romi terlihat agak gusar ketika aku tak menjawab pertanyaannya.
“Jangan macam-macam, Bram. Kita sama-sama laki-laki nggak bener kalau soal perempuan. Tapi, jangan coba-coba dengan yang satu ini. Kalau kamu sampai punya niat mendekatinya atau mempermainkannya...” Romi diam sejenak, seperti menahan emosi. Kemudian melanjutkan bicara dengan suara tegas penuh ancaman. “Kalau kamu berani mempermainkannya... nyawamu taruhannya! Dia gadis baik-baik. Sudah kuanggap seperti adikku sendiri.”
Nada suaranya menunjukkan kalau Romi tidak main-main dengan ancamannya.
Tapi aku tidak menanggapi ancamannya.
Mataku masih terus lekat menatap sosok mungil berjaket merah yang tubuhnya terlihat semakin mengecil di kejauhan. Aku berharap dia berjalan dengan gerakan slow motion , perlahan membalikkan badan, dan melambai-lambaikan tangan disertai senyuman. Biar aku bisa melihat sosoknya lebih lama lagi.
“Hebat! Aku mengaku kalah, Bram. Ini benar-benar luar biasa.” Romi berkata sambil meninju keras bahu kananku. “Semua di luar perkiraanku. Aku sama sekali nggak nyangka kamu bisa sampai di sini. Keren, Bram!”
Pujian dan ucapan Romi terlewat begitu saja. Aku tidak peduli. Saat ini, aku merasa seperti ada yang lenyap dari ruang dadaku ketika sosok gadis itu baru saja menghilang melewati pintu keluar.
“Hei! Kamu dengar, nggak? Lihat apa sih sampai bengong begitu?” Sambil berkata Romi menggerak-gerakkan tangannya tepat di depan mataku.
Anehnya, tangan Romi yang bergerak-gerak cepat persis di depan mataku, seolah tak terlihat. Yang nampak jelas di mataku, justru seorang perempuan mungil berambut pendek, bermata bulat, beralis tebal, berhidung mancung, dengan kulit wajah kuning langsat tersenyum memperlihatkan lesung pipit di pipi kirinya. Seolah aku bisa merasakan pancaran cinta dari sepasang mata bulatnya.
Hah! Apa? Cinta?!
Ini pasti mimpi. Aku pasti sedang bermimpi. Atau lebih tepatnya karena mataku masih terbuka lebar, aku pasti tengah berhalusinasi. Ketika kesadaranku masih mengambang tidak jelas, kata-kata Jito seolah kembali bergema di kepalaku,
“Ah, mungkin Pak Bram belum ketemu perempuan yang bisa membuat Bapak melupakan semua yang ada di dunia ini. Suatu saat nanti, Pak Bram pasti bertemu perempuan yang membuat Bapak selalu teringat wajahnya. Terbayang senyumnya, perhatiannya, dan sorot matanya. Kemudian hanya ingin hidup bersamanya sampai tua. Itu namanya jatuh cinta...”
Ini semua jelas-jelas sudah bertentangan dengan prinsip hidupku selama ini. Mengapa perasaan aneh dan cukup membingungkan ini bisa muncul begitu saja dan menghantamku dengan kekuatan penuh? Membobol dinding pertahanan yang sudah sekian lama kubangun kokoh dalam hidupku.
Dan sekarang, rasanya aku ingin menyerah. Aku merasa sudah tidak mampu lagi melawan rasa itu. Apalagi dalam kondisi fisik yang lelah dan sakit seperti sekarang.
Setelah sekian lama kubiarkan hatiku selalu kosong tak berpenghuni, aku rela membiarkan gadis bermata bulat itu tiba-tiba mengisi dan menghuni seluruh ruangnya.
Aku benar-benar rela. Sangat rela. Aku bahkan merasa bahagia hanya dengan mengingat sosok mungilnya saja.
Romi meninju bahuku lebih keras lagi. “Hei, Bram! Ada apa? Jangan melongo terus. Aku mengaku kalah!”
Kata-kata Romi seolah berlari masuk telinga kiri melesat cepat keluar melalui telinga kananku. Kata-katanya seolah menguap begitu saja di udara. Di mataku hanya ada gadis bermata bundar yang masih tertawa dan membuatku terpana. Sekaligus terpesona.
Melihat kondisiku, Romi mencengkeram kedua bahuku dan mengguncang-guncangnya keras.
“Bram, apa yang telah terjadi padamu?” tanyanya cemas. “Bram… Braam!”
“Aku jatuh cinta…” jawabku pelan setengah melamun.
Ketika akhirnya aku mampu kembali bicara. Rangkaian kata-kata yang tidak pernah keluar dari bibirku itu jelas membuat Romi syok mendengarnya.
“Apa…!!!” teriak Romi.
“Ya ampun, Bram. Apa perjalanan ini selain membuat jidatmu benjol, juga telah membuat kerusakan yang cukup parah di otakmu? Pasti ini yang dinamakan gejala gegar otak ringan. Atau semacam ketidakwarasan sementara.” Romi mengemukakan analisisnya tentang keadaanku.
“Rom, aku ingin hidup bersamanya...” kataku masih setengah melamun.
“Hah! Opo? Amit-amit jabang bayi!” seru Romi panik.
PLAAAK..!!!
Tangan kanannya sudah menampar keras pipi kananku dan meninggalkan rasa panas.
“Astaga. Aku nggak nyangka akibatnya akan sekacau ini. Bram, sadar! Nyebut, Bram! Nyebut!” Romi kembali mengguncang-guncang keras tubuhku.
“Aku ingin mengenalnya...”
Dengan panik Romi melepaskan cengkeramannya di bahuku dan mengangkat tangan kanannya yang terkepal, siap meninju mukaku.
Tapi Jito bergerak cepat menahannya. “Jangan, Pak Romi. Jangan dipukul. Nanti akibatnya bisa lebih parah lagi. Bisa koma!”
Suara Jito terdengar sangat cemas dan ketakutan. “Kita bawa ke rumah sakit saja!”
Oh, ternyata Jito juga mengira aku terkena gegar otak. Aku tidak menyalahkan mereka berdua. Kata-kata yang barusan kuucapkan seperti suara-suara yang sangat mengerikan di telinga mereka. Bahkan kalau mau jujur, aku sendiri merasa ngeri dan tak tahu kenapa bisa mengucapkan kata-kata menakutkan itu. Mulutku seolah bergerak mengikuti naluri tanpa perintah dari otakku.
Dan aku juga tahu, maksud Romi hendak menonjok mukaku hanyalah usahanya untuk mengembalikan kesadaranku.
Mereka berdua tidak tahu. Juga tidak perlu tahu. Bahwa aku tidak pernah merasa sesadar ini seumur hidupku.
Tanganku terulur balik memegang bahu Romi.
“Rom, tolong berikan padaku alamat Kedai Buku Lestari,” pintaku dengan nada memohon. Aku masih mengingat dengan jelas nama yang disebut Romi tadi.
Mengabaikan permintaanku begitu saja, Romi malah kembali mencengkeram lengan kananku. “Jito benar. Kita harus segera ke rumah sakit, Bram!”
Tanpa dikomando, Jito mencengkeram lengan kiriku. “Sekarang Pak Romi, kalau terlambat akibatnya bisa lebih parah.”
Aku langsung berusaha mengibaskan dua tangan yang mencengkeram lenganku. Tapi, mereka berdua malah meringkus tubuhku. Aku meronta-ronta untuk melepaskan diri. Terjadilah pergulatan yang cukup seru. Yang langsung menarik perhatian orang-orang yang hilir mudik di sekitar kami.
Dalam waktu sekejap, terjadi kerumunan orang yang cukup banyak. Sebagian malah segera ikut berpartisipasi memegangi tubuhku. Aku menyerah dan memutuskan untuk berhenti meronta.
Kemudian orang-orang menggotongku masuk ke sebuah warung makan yang terletak di ujung lorong. Mereka membaringkanku di sebuah bangku panjang. Ada yang mengipasi tubuhku dengan Koran dan ada yang mengoleskan minyak angin di perutku. Juga dioleskan tepat di bawah lubang hidungku yang membuat rasa panasnya menjalar cepat. Bahkan sudah ada juga yang berinisiatif memijat-mijat kakiku.
Dasar orang-orang sok tahu. Apa dikiranya aku ini pingsan atau masuk angin?
Hoi! Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk mengatakan aku baik-baik saja. Tapi niat berteriak langsung kubatalkan begitu membayangkan reaksi mereka semua jika mendengarnya.
Aku hanya bisa diam.
Sekalian saja pura-pura pingsan dengan memejamkan mata rapat-rapat. Silahkan lakukan apa saja dengan tubuhku. Asal jangan sampai menodaiku.