Bagaimana rasa itu tumbuh? Bintang juga tidak tahu kapan jelasnya. Begitu saja hadir tanpa bisa ia cegah.
Dua tahun yang lalu, Bintang dengan seragam putih biru memandangi kertas ujiannya. Sudut bagian atas tertulis angka 36 dengan tinta merah. Kelas 2 smp, untuk pertama kalinya Bintang mendapatkan nilai dibawah 5.
"Bintang dapat berapa!" Ocha berseru menghampirinya. Gadis dengan jepitan merah muda di sisi kiri itu mengangkat kertas ujiannya tinggi-tinggi. "Pasti lebih gede, gue aja 80."
Sepasang mata Bintang memicing. Bibirnya mengeluarkan decakan sebal. "36."
"Hah?" Ocha meraih kertas milik Bintang. "Kok bisa?"
"Padahal kan, kita kerja sama." Bintang menggerutu. Apalagi teringat sebagian besar soalnya ia yang memberi tahu rumusnya pada Ocha. "Kayaknya gue gak teliti."
"Ih." Ocha mendecih. "Kemaren kan gue udah bilang, samain dulu jawabannya. Lo malah ngumpulin duluan."
Bintang menyimpan kertasnya di laci, kemudian berlalu. "Ayo pulang. Capek." Cowok itu melangkah duluan keluar dari kelas sembari menyandang ranselnya. Sedangkan Ocha masih memandangi kertas ujian yang sengaja ditinggalkan Bintang di laci.
Ia meraihnya. Menyimpan kertas itu di dalam ransel sebelum menyusul Bintang.
***
Rumusnya benar semua, hasil akhirnya doang yang salah karena lo ceroboh. Gak apa-apa salah, yang penting lo ngerti dan tau letak kesalahannya. Udah gue benerin nih, jawabannya. Awas aja ujian selanjutnya masih dapet 3. -Ocha.
Bintang meraih kertas di lacinya. Tertegun ketika menyadari kertas ujian yang kemarin sudah di penuhi coretan warna-warni khas tulisan Ocha.
Kalau dilihat-lihat, memang Bintang yang ceroboh menghitung hasilnya. Bukan salah Ocha juga kalau nilainya kecil.
Pandangannya beralih pada si gadis yang tengah membaca novel di bangkunya. Kemudian Bintang mendekat. "Nanti pulang sekolah mampir mekdi, yuk? Gue yang traktir deh."
Senyum Ocha mengembang lebar, dan sungguh, Bintang suka melihatnya. Rasanya dia seperti ingin melakukan apa saja supaya Ocha tersenyum seperti itu.
"Beneran lo traktir kan? Uang jajan gue udah abis soalnya kemaren gue beli bando."
***
"Gak boleh, Bintang."
Ada dua alasan jika mama menyebut nama Bintang, bukannya embel-embel 'dek.' Alasan pertama, kalau Bintang nakal. Alasan kedua, kalau sedang marah besar kepada Bintang.
Ini alasan kedua. Karena Bintang baru saja merengek minta tanda tangan untuk izin mengikuti ekskul paskibra. Jelas ditentang mentah-mentah oleh mamanya. Bintang punya anemia akut, tidak kuat sinar matahari. Upacara saja kadang lemas, apalagi ikut paskibra.
"Ma." Bintang merengek. "Semua yang badannya tinggi ikut paskib, masa Bintang nggak. Lagian kan keren, kalau Bintang jadi pengibar bendera pas 17 Agustus-an. Siapa tau dipilih ke Istana Presiden."