Empat belas hari telah berlalu sejak Pak Alif memanggilku ke ruang BK. Memang, nilai disiplinku tidak terlalu baik. Oleh karena itu, siapa pun yang membaca ini, tolong jangan dicontoh. Pada minggu itu, Pak Alif memintaku menuliskan esai tentang kedisiplinan dengan judul “Pondasi Kesuksesan dan Karakter”. Setelahnya, aku juga membacakan esai itu di depan Pak Alif dan seluruh guru yang berada di ruang guru.
Kira-kira, berikut inilah isinya:
Kedisiplinan adalah keterampilan hidup yang sering dianggap remeh, padahal memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakter dan menentukan keberhasilan seseorang. Disiplin bukan hanya soal menaati aturan, tetapi juga kemampuan mengatur diri untuk tetap konsisten dalam menjalankan tanggung jawab. Di lingkungan sekolah, misalnya, kedisiplinan tercermin dalam kebiasaan datang tepat waktu, menyelesaikan tugas tanpa penundaan, serta menaati tata tertib.
Hal-hal kecil seperti ini sebenarnya melatih kita untuk lebih bertanggung jawab, tidak hanya terhadap diri sendiri tetapi juga terhadap lingkungan sekitar. Dengan bersikap disiplin, kita belajar bagaimana menghargai waktu dan upaya orang lain, yang menjadi bekal penting untuk kehidupan di masa depan.
Namun, membangun kedisiplinan bukanlah hal yang mudah. Banyak orang gagal mempertahankan kedisiplinan karena kurangnya komitmen dan kesadaran akan manfaat jangka panjangnya. Padahal, disiplin adalah modal utama dalam meraih kesuksesan. Individu yang terbiasa hidup teratur cenderung lebih produktif, percaya diri, dan mampu mengatasi tantangan dengan baik.
Sebaliknya, kurangnya disiplin sering kali berujung pada kehilangan peluang, hasil yang tidak maksimal, dan bahkan keretakan hubungan sosial. Oleh karena itu, membiasakan diri untuk disiplin sejak dini adalah langkah awal yang dapat membawa kita pada kehidupan yang lebih terarah, bermakna, dan penuh pencapaian.
Menyebalkan sekali.
Lalu, pelajaran biologi masik dalam daftar mata pelajaran yang memiliki kandungan "obat tidur" dengan dosis tinggi. Bagaimana tidak, setiap kali pelajaran biologi berlangsung, mata ini terasa berat sekali untuk tetap terbuka, seolah-olah ada lem di setiap helai bulu mataku.
Sekalipun aku duduk di meja nomor dua bersama Emmar, lalu di meja depanku ada Ilyana dan Fazeela—dua anak yang memiliki otak cemerlang layaknya manusia yang sudah belajar ratusan tahun. Namun, hal itu tidak membuatku menjadi teladan yang baik.
Aku sengaja menutupi kepalaku dengan buku paket, seolah sedang membaca, sambil menenggelamkan kepala di atas tangan dan mejaku. Mataku mulai terpejam dengan sempurna. Hanya sesaat, aku sudah pulas.
Namun, anehnya, suara Bu Hazel masih terdengar jelas di telingaku. Bahkan, aku tidak bisa membedakan apakah aku sudah benar-benar pulas atau belum. Otakku dengan mudahnya memahami semua yang dikatakan Bu Hazel.
"Sel adalah unit terkecil kehidupan, anak-anak," kata Bu Hazel, mulai menjelaskan pelajaran. "Struktur sel terdiri dari tiga bagian utama: membran sel, sitoplasma, dan nukleus."
"Kita bisa bayangkan jika membran sel seperti pagar yang mengelilingi rumah, yang berfungsi untuk mengatur apa yang masuk dan keluar. Membran sel juga mengatur transportasi molekul dan menjaga keseimbangan internal sel. Sementara itu, sitoplasma adalah cairan tempat organel berfungsi."
"Organel seperti mitokondria, kloroplas, dan ribosom. Lalu, mitokondria menghasilkan energi untuk sel, kloroplas melakukan fotosintesis pada tumbuhan, dan ribosom mensintesis protein. Setiap organel memiliki fungsi spesifik yang menjaga kehidupan sel." Aku mulai menyimak dalam keadaan tidur.
"Mitokondria menghasilkan energi dalam bentuk ATP (adenosin trifosfat) melalui proses respirasi seluler. Kita bisa mengambil contoh dari apa yang sering kita lihat atau pun kita lakukan. Saat kita berolahraga, otot membutuhkan lebih banyak energi untuk bergerak. Mitokondria dalam sel otot inilah yang bekerja lebih keras untuk menghasilkan ATP agar tubuh tetap bertenaga."
"Sementara kloroplas melakukan fotosintesis pada tumbuhan, mengubah sinar matahari menjadi energi kimia dalam bentuk glukosa."
"Pohon di taman depan maupun samping sekolah kita menghasilkan oksigen saat fotosintesis. Proses ini terjadi di kloroplas, yang memungkinkan pohon untuk tumbuh dan menyediakan makanan bagi makhluk hidup lainnya."
"Lalu, ribosom mensintesis protein yang diperlukan untuk fungsi sel. Nah, dalam tubuh manusia, sel pankreas menghasilkan insulin, hormon penting untuk mengatur gula darah. Ribosom dalam sel-sel tersebut bertanggung jawab untuk membuat protein insulin ini. Kalian bisa pahami tentang fungsi insulin dengan membaca di lembaran selanjutnya."
Menit berikutnya, aku merasa seperti tidak berada di ruang kelas lagi. Suasana di sekitarku berubah drastis. Kabut tipis menyelimuti tanah yang terasa dingin di bawah kakiku. Aku berada di tanah lapang, setiap pinggirannya ditumbuhi pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Beberapa bunga mawar kuning melengkapi keindahan itu. Namun, semua penglihatanku tampak tidak asing. Bahkan, pakaian yang aku kenakan juga berubah. Aku memakai mantel panjang warna coklat tua sepanjang mata kakiku, sekaligus memakai celana hitam dan sepatu bot yang terbuat dari kulit hewan.
"Athar," suara lembut namun tegas memanggilku.
Aku segera membalikkan badan, dan di sana berdiri seorang pria tua dengan jubah putih yang menjuntai hingga menyentuh tanah. Rambut putihnya masih berkilau seperti beberapa waktu yang pernah aku temui sebelumnya.
"Ki Putih?" tanyaku dengan nada ragu.
Beliau tersenyum hangat, menampilkan deretan gigi putih yang rapi. Jemarinya yang gemuk mengusap jenggotnya yang lebat dan putih sempurna.
"Nak Athar, apa kamu kemari lagi karena tersesat, atau ada alasan lain yang membawamu datang kemari?" tanyanya. Matanya tajam namun ramah, seperti mencoba membaca pikiranku.
Aku hanya mengangkat bahu. "Entahlah, Ki Putih pasti tahu alasannya tanpa aku kasih tahu. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa berpindah tempat dalam hitungan menit, Ki?"
Ki Putih tersenyum lagi, kali ini dengan nada penuh misteri. "Maaf, sebenarnya, akulah yang memanggilmu untuk datang kemari. Tidak perlu bertanya bagaimana caranya. Ada sesuatu yang harus aku sampaikan."
Beliau mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan mendesak. "Athar, dengarlah baik-baik. Waktu kita tidak banyak. Carilah suatu benda untuk membuka pintu Anila Candrasa. Benda itu ada di sekitarmu. Tolong temukan secepatnya. Antasea sedang tidak baik-baik saja. Kami sangat membutuhkan bantuanmu."
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkannya. "Setelah aku menemukannya, apa yang harus aku lakukan?"
"Temukan lebih dulu benda itu. Setelah itu, temui aku di tempat ini. Hanya di pintu gerbang ini kita bisa bertemu."
Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, tubuh Ki Putih memudar, seperti kabut yang diterbangkan angin. "Ki!" panggilku, tapi terlambat. Dalam sekejap, suasana berubah lagi.
Suara ketukan spidol di meja membuatku terkejut. "Athar!" suara Bu Hazel menggema di seluruh kelas.
Aku membuka mata dan mendapati diriku kembali di ruang kelas. Pandangan seisi kelas langsung tertuju padaku, diikuti derai tawa yang memecah keheningan.