Ruangan kelas perlahan tenggelam dalam keheningan. Hanya suara Pak Hakim yang terdengar, membahas pelajaran sejarah dengan gaya khasnya. Pria berusia 37 tahun itu memang memiliki cara unik dalam menyampaikan materi, membuat topik yang seharusnya membosankan menjadi menarik dan penuh kehidupan.
Namun, ketika jam dinding menunjukkan pukul 14.00 WIB, mata kami mulai kehilangan fokus. Satu jam lebih lima belas menit lagi bel pulang akan berbunyi, dan suasana di kelas mulai terasa berat. Beberapa siswa menahan kantuk sambil melirik jam dinding di atas papan tulis. Ada juga yang menatap jendela dengan tatapan kosong, sementara sisa yang lainnya berusaha keras untuk tetap memperhatikan.
Matahari sore yang hangat memantulkan sinarnya ke papan tulis, menciptakan bayangan yang bergerak perlahan seiring waktu berlalu.
“Kalian pasti tahu, bangsa-bangsa Eropa mulai datang ke Nusantara pada abad ke-16. Kedatangan mereka membawa banyak perubahan besar, terutama karena masa penjajahan yang kemudian terjadi,” jelas Pak Hakim dengan nada ringan, seperti seorang pencerita yang andal.
Beliau berjalan perlahan di depan kelas, pandangannya menelusuri wajah kami satu per satu. “Nah, apa kalian sudah membaca tentang bagaimana proses kedatangan bangsa Barat ke Indonesia? Ada yang sudah membaca materinya?” tanyanya. Namun, tanpa menunggu jawaban, beliau langsung menambahkan, “Biar saya tebak, pasti banyak yang belum membacanya.” Suaranya terdengar bercanda, tetapi tetap tegas, mengisyaratkan bahwa beliau tahu kebiasaan angkatan kami yang malas membaca. Kami hanya tertawa kecil tanpa dosa.
Pak Hakim melanjutkan, “Mereka datang karena tiga alasan utama: motivasi, keinginan, dan kejayaan. Motivasi mereka sederhana—ingin menemukan wilayah baru yang bisa memenuhi kebutuhan hidup. Namun, motivasi itu sering kali berubah menjadi nafsu untuk menguasai tempat-tempat baru demi mendapatkan kekayaan dan kekuasaan.”
Mataku semakin berat. Aku meletakkan kepalaku di atas tangan yang terlipat di meja. Kelopak mataku tertutup.
“Pertanyaannya adalah, daerah mana yang dimaksud dunia baru itu?” tanya Pak Hakim dengan suara lantang, memecah keheningan.
Beberapa menit kemudian, aku mendengar nama Fazeela dipanggil oleh Pak Hakim. Pelan-pelan mataku terbuka. Sejak kapan dia datang? Bukankah tadi dia masih di kamar mandi sebelum Pak Hakim masuk kelas?
“Fazeela, silakan.”
Mataku langsung terbuka lebar, seolah kantukku lenyap seketika. Kulihat Fazeela, duduk di depan mejaku, tampak tenang dan siap menjawab.
“Yang dimaksud wilayah baru itu adalah daerah penghasil rempah-rempah, seperti Kepulauan Nusantara. Rempah-rempah seperti cengkeh, lada, dan pala sangat digemari di Eropa karena bisa digunakan sebagai bumbu masakan dan penghangat tubuh, terutama di musim dingin,” jawabnya dengan nada tenang namun tegas.
Pak Hakim tersenyum puas. “Jawaban yang sangat bagus, Fazeela. Nah, pertanyaan selanjutnya: kenapa mereka begitu berambisi mendapatkan rempah-rempah itu?”
Fazeela mengangkat tangannya lagi. “Karena rempah-rempah adalah komoditas perdagangan yang sangat mahal dan laris di Eropa. Mereka rela menjelajah samudra dan menjajah wilayah penghasil rempah seperti Nusantara, yang mereka sebut Hindia Belanda.”
Aku menatapnya dengan kagum. Sepertinya julukan Fazeela sebagai ‘ChatGPT bernyawa’ memang benar adanya. Saat pelajaran selesai, bel pulang berbunyi. Semua siswa langsung berkemas. Pak Hakim mengakhiri pelajaran dengan ucapan selamat sore, lalu keluar dari kelas.
Aku berbisik pada Emmar, “Kapan Fazeela masuk kelas?”
“Aku nggak tahu. Tadi aku ketiduran. Kepalaku pusing sekali,” jawab Emmar sambil menguap lemas. Wajahnya terlihat agak pucat. Aku menyodorkan botol air mineral yang masih utuh dan membukakan tutupnya. Emmar menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.
“Faz,” panggilku.
Anak itu menoleh. “Ada apa?”
“Kamu tadi datang dari mana? Aku pikir kamu masih di luar.”
“Makanya, kalau di sekolah jangan tidur mulu. Orang aku dari tadi sudah ada di kelas,” jawabnya santai.
“Tapi sebelum Pak Hakim masuk, aku yakin kamu nggak ada," kataku. Lalu aku melirik Ilyana untuk mendapat jawaban darinya. "Ilyana, kamu lihat Fazeela masuk kelas?”
“Tidak,” jawab Ilyana. “Tiba-tiba saja dia sudah ada di samping kursiku.”
Dahiku mengerut. “Kamu bercanda?”
Fazeela tertawa kecil. “Makanya, jangan tidur sepanjang waktu pelajaran. Konsentrasi kalian jadi kacau.” Ia menghela napas. “Ayo, Ily, kita pulang! Tapi aku mau pinjam buku dulu di perpustakaan. Mau ikut?”
Tanpa ragu, Ilyana mengangguk cepat. Fazeela menarik lengannya, mengajaknya keluar kelas. Semua siswa mulai meninggalkan ruangan.
“Gunakan akal sehat kalian. Jangan tidur terus!” seru Fazeela dari kejauhan. Ia terkekeh bersama Ilyana.
*******