Antasea

FAKIHA
Chapter #4

Bagian 4

Kami masih berada di tengah lapangan yang luas, di mana udara terasa lembap dan angin dingin mulai bertiup pelan.

Menit berganti dengan cepat, perempuan yang membelakangi kami itu berbalik, menghadap kami berdua. Entah bagaimana ini bisa terjadi—perempuan itu ternyata Fazeela, teman sekelas kami. Tidak perlu diperjelas lagi.

Tentu saja, itu sangat mengejutkan kami. Apakah mungkin petunjuknya salah? Namun, kemunculan Fazeela yang tiba-tiba, bertepatan dengan asap putih besar tadi, sangat mirip dengan petunjuk yang disebutkan oleh Emmar.

Fazeela kemudian memasang kuda-kuda, gerakannya serupa dengan yang aku lakukan. Sementara itu, Emmar menatap kami berdua dengan sorot mata tak percaya, seolah tak mampu memproses apa yang sedang terjadi.

“Kalian? Kok kalian bisa ada di sini?” tanyanya sambil memicingkan mata, tatapan waspada tergambar jelas di wajahnya.

Pertanyaan itu semakin membuat kami bingung, namun Emmar, seperti biasa, segera mewakiliku menjawab. “Kamu sendiri kenapa tiba-tiba bisa muncul di sini? Kamu punya kekuatan apa sampai bisa muncul bersama angin besar tadi?” Suaranya terdengar seperti mendesak, penuh rasa ingin tahu.

Fazeela, yang terlihat tidak terpengaruh oleh nada Emmar, malah menggelengkan kepala. “Kekuatan? Apa maksud kalian? Aku juga bingung kenapa tiba-tiba bisa ada di sini,” ujarnya, terdengar seolah-olah ada sesuatu yang sengaja ia sembunyikan.

Aku memperhatikan ekspresinya, mencoba membaca sesuatu dari wajahnya, tetapi sebelum kami sempat bertanya lebih lanjut, dia membuka suara lagi. “Aku tadi lagi pelajarin buku ini, terus tiba-tiba saja malah kelempar ke sini. Benar-benar nggak masuk akal. Kayaknya ini bukan buku biasa. Sebaiknya aku buang saja.” Ia mengangkat buku itu tinggi-tinggi, bersiap melemparkannya jauh.

Namun, instingku lebih cepat. Aku segera maju dan meraih tangannya sebelum buku itu benar-benar terlempar. “Kalau kamu nggak mau, biar buat aku saja,” ucapku cepat, sambil mencengkeram buku itu.

Fazeela menatapku dengan ekspresi penuh tanda tanya, bibirnya mengerucut. “Sejak kapan kamu tertarik dengan buku? Apalagi mau membacanya?” tanyanya, mencoba menyelidik. Jarak kami lumayan dekat, mungkin satu meter.

Aku mengangkat bahu dan menatap balik. “Bagaimana kamu tahu kalau aku nggak suka baca?”

“Sudah menjadi rahasia umum di sekolah kita, kalau Athar Ghazi anak kelas 11 IPA 1 nggak suka baca,” katanya dengan nada santai, lalu berbalik dan berjalan mendahului kami. Namun, sebelum menjauh, ia melontarkan pertanyaan lagi, “Ngomong-ngomong, kenapa kalian berada di sini?”

“Cari sesuatu,” jawabku singkat.

Fazeela menoleh setengah badan. “Cari sesuatu apaan?”

“Harta karun,” jawabku asal. Mendengar jawabanku, Emmar tertawa kecil di belakangku. Kami berbincang sebentar membahas tentang mimpi kami yang sama. Lalu, Fazeela mengatakan jika mimpi yang kami alami bukan sekadar bunga tidur, namun memiliki arti yang sangat dalam.

Setelah itu, kami memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan mulai berjalan beberapa langkah, tetapi tidak lama kemudian, tanah di bawah kaki kami terasa berbeda. Langkah-langkah kami makin lama makin berat, seolah ada sesuatu yang menarik kami ke bawah. Beberapa meter berlalu, dan aku menyadari sepatu kami mulai masuk ke dalam tanah.

“Sebentar, apa kalian merasakan hal yang sama?” tanya Fazeela, suaranya terdengar sedikit tegang.

Aku dan Emmar berhenti dan saling memandang. “Hal apa?” jawab kami bersamaan.

“Lihat! Sepatu kita semakin masuk ke dalam tanah ini. Aku yakin, ini adalah lumpur hidup,” kata Fazeela dengan nada penuh keyakinan.

“Tidak mungkin, Fazeela. Ini tanah lapang, bukan lumpur,” aku menyangkal dengan nada datar, mencoba tetap tenang. Tapi tanah yang kami pijak tidak memberi kesempatan untuk menyangkal lebih lama. Beberapa detik kemudian, aku dan Emmar sudah terperosok hingga ke pinggang.

Fazeela berdiri tenang, masih sempat mengangkat pisau kecil itu seukuran sejengkal orang dewasa. Berbeda dengan kami yang mulai panik, dia terlihat memikirkan sesuatu dengan serius.

“Coba kalian tenang dulu, jangan melakukan gerakan apa pun!” titah Fazeela, suaranya menggema di telingaku.

Bukannya menurut, aku dan Emmar malah membuat gerakan lebih banyak karena panik. Hal itu justru membuat kami tenggelam lebih dalam.

“Fazeela, tolong bantu kami berdua. Jangan cuma ngeliatin kami gitu aja!” kata Emmar dengan nada emosi, paniknya jelas terdengar.

“DIAM! Jangan melakukan gerakan apa pun! Yang membantu kita keluar dari sini, ya kita sendiri. Aku bilang diam, tetap tenang!” bentak Fazeela, matanya tajam menatap kami.

“Semakin kalian bergerak, maka lumpur ini akan menghisap kita dan akan mencabut nyawa kita,” lanjutnya, membuat kami berdua akhirnya menghentikan semua gerakan.

Aku mencoba mencerna ucapannya sambil menatap tanah yang terus menghisap kami. “Bagaimana mungkin tanah biasa bisa menghisap kami? Padahal ini bukan lumpur hidup?” tanyaku, penasaran.

Fazeela menghela napas panjang, menahan emosi. “Apa kalian tidak pernah membaca atau mencari tahu tentang lumpur hidup?” tanyanya dengan nada sinis.

“Untuk apa? Nggak ada manfaatnya juga,” jawab Emmar santai.

“Aku heran, kenapa kamu bisa dapat ranking dua seangkatan, Emmar. Seenggaknya ketika banyak membaca, literasi akan kalian dapatkan, dan kalian bisa menangani masalah kalian dengan baik,” jelas Fazeela, tatapannya penuh rasa frustrasi.

Fazeela mulai menjelaskan panjang lebar tentang lumpur hidup, tapi aku tidak bisa fokus mendengarkannya karena pikiranku masih dipenuhi rasa panik.

"Lumpur hidup (quicksand) adalah campuran pasir, air, dan tanah liat yang tampak padat di permukaan tetapi sangat lunak dan tidak stabil. Ketika seseorang atau benda memberikan tekanan, air di dalam lumpur bergerak keluar, membuat partikel-partikelnya terpisah,"

Lihat selengkapnya