Ibu terus berjalan hingga berhenti di ujung perpustakaan. Tangannya menarik sesuatu di lantai—ternyata sebuah pintu kecil berukuran sekitar satu setengah meter. Pintu itu perlahan terbuka, memperlihatkan jalan menuju ke bawah.
"Athar, ayo ikut Ibu. Ibu akan menjelaskan sekaligus menunjukkan sesuatu yang kamu tanyakan. Semua hal yang kamu tanyakan ada di lantai bawah," ucapnya dengan tenang.
Tanpa berpikir panjang, aku segera mengikutinya dan menuruni tangga yang tersembunyi di balik pintu itu. Betapa terkejutnya aku—selama ini aku tidak pernah tahu kalau rumah ini memiliki ruangan rahasia seperti ini.
Saat akhirnya kami tiba di ruangan rahasia itu, aku tertegun. Di hadapanku terbentang sebuah perpustakaan yang ukurannya tiga kali lipat lebih besar dan jauh lebih lengkap dibandingkan perpustakaan pribadi kami di atas. Rak-raknya menjulang tinggi, dipenuhi buku-buku dengan perpaduan warna putih tulang, hitam, dan biru tua, menciptakan suasana yang elegan sekaligus menenangkan. Koleksi buku di sini tampak tak berujung, seolah-olah menyimpan seluruh pengetahuan dunia.
Ibu mengambil sesuatu dari salah satu rak lemari. Sebuah perkamen besar seukuran delapan puluh sentimeter, lalu menggelarnya di atas meja perpustakaan itu.
"Kamu bisa perhatikan peta Antasea ini."
Aku berdiri di samping Ibu. Tangan kananku menekan sisi kanan perkamen, sementara tangan kiri Ibu menekan sisi kirinya.
Ibu memejamkan mata, lalu mengatakan sesuatu. "Saat itu, empat remaja sedang melakukan aktivitas normal seperti biasanya—belajar di sekolah pada pagi hari, sekitar pukul sembilan. Namun, cuaca tiba-tiba berubah dengan cepat. Matahari menghilang, langit menjadi mendung, lalu angin puting beliung datang secara tiba-tiba tanpa terkendali. Itu hal yang paling mencengangkan selama mereka hidup."
Ibu membuka matanya, lalu menatap kosong pada peta yang ditekan oleh jemari kami.
"Empat remaja itu selalu bersama, bahkan saat angin puting beliung menelan semua yang ada di sekitarnya. Tanpa diduga, mereka tersedot ke dalam pusaran angin itu. Mereka semua panik bukan main. Lalu, sekitar satu menit kemudian, mereka jatuh di suatu tempat yang sangat lapang dan asing di mata mereka. Udaranya sangat dingin—tiga kali lipat lebih dingin dibandingkan tempat kita sekarang."
"Mereka berempat jatuh tepatnya di tanah lapang ini." Ibu menunjuk ujung paling atas daratan Antasea, di sana ada gambar gerbang. "Di sinilah mereka jatuh, tepat di Gerbang Anila Candrasa."
"Anila Candrasa?" tanyaku, seketika otakku mencerna tentang nama itu.
Ibu mengangguk cepat. "Gerbang inilah yang bisa dimasuki oleh siapa pun yang datang ke Antasea. Saat tiba di sana, mereka berempat sempat lupa dengan rasa paniknya karena teralihkan oleh gerbang dan pagar yang menjulang tinggi, sekitar tujuh meter. Mereka jatuh tepat di dalam gerbang masuk itu. Saat itu, pagi baru saja menyingsing."
"Salah satu dari mereka bertanya, 'Kita berada di mana?' Di antara mereka tidak ada yang bisa menjawab, mereka hanya diam. Hingga seseorang berbaju putih dengan belang hitam, menyerupai mantel berbahan seperti kulit harimau, muncul di belakang mereka.
Kakek itu tersenyum gembira melihat kedatangan mereka berempat. Lalu, salah satu perempuan yang paling berani bertanya, 'di mana mereka berada?' Kakek itu hanya menjawab, 'Selamat datang, cucu-cucuku, di Antasea. Inilah asal kalian yang sesungguhnya. Akhirnya setelah sekian tahun aku menunggu, kalian bisa datang ke sini.'"
"Mereka bingung mendengarnya," lanjut Ibu. "Lalu, kakek itu menjelaskan siapa dirinya dengan detail. Ternyata, mereka berempat dipanggil ke sana bukan tanpa alasan. Mereka datang karena panggilan alam. Kakek itu bernama Ki Putih Tanasma, seorang guru besar yang dihormati. Ia membawa mereka ke suatu tempat menggunakan lima ekor kuda yang telah disiapkan, lengkap dengan para kusir yang mengantarkan mereka."
"Setelah menempuh perjalanan selama empat jam dengan berkuda, akhirnya mereka sampai di istana Antasea. Istana ini berada di ujung bukit dengan ketinggian 2.000 mdpl, setara dengan Bukit Barisan yang berada di wilayah Sumatra. Dari atas, mereka bisa melihat seluruh peradaban Antasea yang sangat maju." Ibu menunjuk tempatnya lagi. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Aku mengacak rambutku. Udara di bawah ini lebih hangat daripada di ruangan lainnya. Aku memakai pajamas panjang warna abu muda.
"Saat mereka tiba di lantai dua istana, mereka langsung digiring ke perpustakaan terbesar di Antasea. Perpustakaan itu sangat megah, dipenuhi buku kuno modern sekaligus gulungan sejarah." Ibu menunjuk bangunan perpustakaan. Aku melihatnya lagi.
Bagaimana mungkin Ibu bisa menjelaskan sedetail itu?
"Di sana, mereka ditunjukkan silsilah keluarga mereka yang ternyata memiliki keterkaitan erat dengan peradaban Antasea. Kakak buyut mereka masih memiliki genetik dari Antasea. Bukan hanya itu, mereka juga melihat sendiri bagaimana Antasea berkembang menjadi puncak peradaban yang luar biasa—perekonomian yang stabil, sistem politik yang kuat, pendidikan yang maju, serta kecanggihan teknologi yang sangat seimbang. Kota itu sangat indah, menyatu dengan alam tanpa merusak keseimbangannya yang bisa dilihat dari ketinggian tempat istana itu berada."
"Di bukit itu, semua orang hidup dalam keadaan harmonis tanpa kekurangan apa pun sampai ratusan tahun, begitu juga dengan wilayah bagian lain Antasea.
"Mereka bisa menikmati hasil kerja keras mereka, baik dari alam maupun dari kecanggihan teknologi. Tidak ada kesenjangan yang mencolok. Selama tinggal di sana, mereka merasakan kehidupan yang berbeda. Makanan yang mereka nikmati sangat lezat, pakaian yang mereka kenakan memberikan kehangatan yang nyaman."
"Jadi, Antasea sebenarnya berada di mana?" tanyaku amat penasaran.
"Antasea berada 40 meter di bawah permukaan tanah Pulau Jawa. Peradaban ini tersembunyi dari dunia luar."
"Bagaimana mereka bisa hidup di bawah tanah? Bukannya kadar oksigen di bawah tanah dengan kedalaman 40 meter sangat sulit? Lalu bagaimana bisa Istana Antasea bisa berdiri di atas bukit sekitar 2000 mpdl?" Ibu tersenyum.
"Kamu masih sama, selalu ingin tahu dengan bertanya, bukan mencari tahu jawabannya sendiri. Lihat ini." Ibu menunjukan bukit Antasea. Aku mengikuti arah jemarinya menunjuk bukit itu.
"Mereka memiliki teknologi dan kemampuan yang hebat yang membuat istana dan bukit Antasea nggak bisa dilihat oleh siapa pun."
"Bagaimana caranya mereka menyamarkan kota itu?"
Bukankah ini sulit diterima oleh akal sehat. Bagaimana bisa?