Petang sudah menjelang. Tapi agaknya hari ini langit urung menyala jingga. Dari atas sana kelabu menatap sendu. Arak-arakan awan bersiap menumpah tangisan sementara angin berdesir-desir tak karuan, melarung beku. Tak ada sisa kehangatan yang bisa dinikmati menjelang mentari pulang ke peraduan. Dalam hati saya menggerutu karena menunda jam pulang.
Sembari mempercepat langkah di tengah gemuruh yang semakin menggebu berseru, saya lewati sebuah jalan sempit sambil menunduk. Saat itulah mata saya menangkap blazer merah yang melekat pada tubuh. Seketika kilas kengerian muncul begitu saja seperti tamu tanpa undangan.
Entah siapa yang awalnya berkata: petir akan menyambar merah. Sampai sekarang saya berada di ambang antara yakin dan tidak yakin apakah ini sebuah fakta atau sekadar mitos belaka. Sepertinya alam bawah sadar cenderung pada pilihan pertama, karena kaki saya nyatanya mulai bergerak lebih cepat.
Mungkin karena sedari tadi berjalan sambil menunduk dan melamun, saat sadar, saya sudah berada di tempat berbeda. Di ujung belokan jalan sempit yang saya lalui, tak ada satu halte tempat saya biasa menunggu bus untuk pulang. Sebagai gantinya sebuah tempat yang benar-benar asing menghadang.
Di hadapan saya kini sebuah lorong sempit kosong-melompong, diapit oleh dinding beton di kedua sisi. Dinding itu menjulang sangat, sangat tinggi. Menengadah, tatapan saya terpaku pada langit yang terlihat semakin gelisah. Udara pengap masih berkutat dengan urusannya. Mencoba mencekik saya sampai mati.
Kemudian, kata-kata tanpa raga muncul seperti hantu dalam kepala. Lama-lama mereka menggandakan diri seperti ameba. Sekarang kepala saya ramai sekali rasanya. Keramaian semacam itu tentu mengundang kepanikan.
Sekarang apa?
Gamang meliputi. Saya putuskan memutar balik. Bergegas mencari jalan yang sekiranya bisa menuntun ke titik awal sebelum saya tersesat di tempat ini.
Percuma. Lorong kosong ini seolah tak berakhir. Sekian lama berjalan, harapan pupus perlahan. Saya mengubah strategi: mencari pintu di sepanjang dinding. Berharap seseorang akan membuka pintu itu dan bersedia memberi setidaknya sedikit tuntunan. Namun usaha kedua ini juga ternyata berujung kemustahilan.
Ah. Betapa lelahnya. Seorang diri, mengamati tempat yang kian detik makin asing. Kesedihan membuncah di dada saat saya menyadari betapa bisunya tempat ini. Ia sama sekali tidak memancarkan tanda-tanda kehidupan yang saat ini begitu saya harapkan—dan butuhkan.
Perlahan pirau mengungkung bumi. Saya kembali berjalan. Mencoba menyulam sedikit harapan lagi sebelum tirai malam benar-benar dibentangkan.
Syukurlah! Setelah beberapa lama seberkas terang memanggil dari ujung sana. Saya bergegas menyongsongnya. Tapi apa yang menanti di sana sungguh membuat terpana.
Sebuah tempat yang sepertinya adalah pasar, tapi bukan pasar seperti lazimnya pasar. Tak ada riuh khas serta teriakan-teriakan bersemangat para pedagang. Namun itu tetap saja pasar. Ya. Saya yakin sekali. Ini sebuah pasar yang ramai, tapi anehnya begitu sepi.
Selama beberapa saat saya memerhatikan dengan napas tertahan. Orang-orang yang sepertinya adalah pembeli terus berjalan dengan wajah murung. Saat ingin membeli sesuatu, mereka akan menunjuk barang yang diinginkan. Sunyi mengiringi segala yang mereka lakukan. Benar-benar pasar yang sepi interaksi lisan.
Entah dari mana sebuah kekuatan muncul dan mendorong saya untuk mendekat. Seakan terhipnotis, kaki saya mulai melangkah lagi. Orang-orang itu tidak menoleh. Entah tidak menyadari atau tidak peduli.
Saat berjalan, tatapan saya terpaku pada seseorang yang sepertinya adalah penjual. Seorang perempuan paruh baya berwajah dingin dan datar. Seperti ekspresi lelah dan bosan menjalani kehidupan. Tak lama seorang pembeli datang dengan wajah yang sama datarnya sambil menunjuk sesuatu. Saya tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ia tunjuk. Maka saya putuskan untuk lebih mendekat.