Pembunuhan masal baru saja terjadi di tanah yang kini sudah cukup lapang itu. Darah hijau luruh dari tubuh-tubuh kecokelatan, meruah ke tanah yang basah karena tangisan. Lampu-lampu temaram di kejauhan berusaha keras menerangi petang yang kelam, meski tak kunjung membuahkan hasil memuaskan.
Sunyi. Tak ada suara kecuali solilokui yang terus menerus dilantunkan semesta. Kehidupan saat ini hanyalah teriakan dan tangisan. Hujan masih turun begitu deras. Langit terus-menerus berduka dan menolak untuk tertawa. Sesekali teriakan gemuruh ikut merefleksikan luka, menyertai lantunan derau hujan. Ada yang ingin dibisikkan pula oleh angin yang berdesau di telinga, meski aku tak tahu itu apa. Aku terus saja larut dalam pikirku sementara detik demi detik berlalu.
Kurapatkan jaket. Sebuah gesture yang percuma karena jaket lusuh dengan beberapa lubang itu tetap tidak mampu mengusir beku yang menusuk jauh hingga ke rusukku.
Aku menggigil. Masih segar dalam ingatanku, pembunuhan tadi. Tidak, aku tidak menangis. Hatiku terlampau beku untuk ikut menangis bersama langit. Hanya saja, sesuatu berdesir dalam dadaku saat menyadari bahwa aku adalah bagian dari kekejian.
Ya. Aku terus-menerus membunuh. Bukan hanya karena mereka yang kubunuh tidak meneriakkan kesakitan dalam suara yang bisa kudengarkan, tapi juga karena aku butuh kehidupan. Itulah yang sampai sekarang terus kujadikan pembenaran. Untuk terus mengisi air ke dalam sungai bernama kehidupan, aku harus mengeruk kehidupan dari sungai-sungai lain di sekitar. Walau tindakan ini mampu mencegah kekeringan tetapi warna sungaiku kini sungguh keruh. Meski begitu, aku terus bertahan. Untuk sebuah hal abstrak bernama kehidupan.
“Aku harus berhenti,” kataku suatu hari pada perempuan yang belum genap satu bulan kunikahi.
Perempuan itu berhenti menyikat pakaian yang sudah dihiasi beberapa sobekan sambil mengalihkan wajah untuk sepersekian detik. Kemudian wajah itu dipalingkannya lagi dan ia kembali sibuk menyikat.
Meski ia tidak mengatakan apa-apa aku bisa mengartikan makna dari tatapan tadi. Namun ia merasa masih harus memperjelas lagi dengan berkata, “berhenti dan membiarkan kita mati kelaparan? Sudahlah, Pak. Kita ini orang melarat. Jangan banyak tingkah. Cuma orang-orang kaya saja yang boleh bertingkah.”
Ucapan yang bak sangkur itu menghujam tepat ke jantung hatiku, yang menjadi semakin luka dari hari ke hari. Tetapi perempuan dingin berwajah cantik itu tidak peduli. Berkutat dalam kehidupan melarat yang membosankan setiap hari telah membuat ia terlampau letih untuk berempati.
Ditambah fakta bahwa ia tidak pernah sedetik pun benar-benar mencintaiku, karena aku bukan pangeran kaya yang kerap muncul dalam mimpi-mimpi di siang bolongnya. Ia menikah denganku cuma karena orang tuanya secara tidak langsung telah membuangnya. Dengan penghasilan pas-pasan untuk belasan mulut yang harus diberi makan, keluarga itu tidak punya pilihan. Setiap satu orang keluar dari gubuk penuh sesak berarti berkurang pula satu tanggungan. Itu suatu hal menggembirakan.
Maka suatu hari, orang tuanya dengan senang hati memberikan ia padaku saat aku mengajukan tanggung jawab atas dirinya. Kukira ia sudah lama membenciku. Lalu sejak saat itu pastilah makin menjadi-jadi kebencian itu. Karena aku telah mendisrupsi mimpi-mimpi panjang yang ia harapkan tak akan pernah berakhir, atau setidaknya, berakhir bahagia. Kedatanganku memang membawa mimpi baru bagi perempuan itu. Mimpi buruk.