Pasar Orang-Orang Mati

Jauza M
Chapter #8

Secangkir Kopi yang Terus Menanti

Malam merangkak diam-diam, menggantikan mega yang sudah lingsir beberapa waktu silam. Samar-samar berkas cahaya rembulan menyelinap. Dari balik jendela, jalanan kosong menatapku. Siluet fatamorgana dari dua orang yang saling mencinta menari ceria di bawah langit berbintang.

Napasku terhela. Rasanya belum lama saat aku menjadi bagian dari orang-orang yang sebelumnya menyemut di kafe ini. Sekarang, nyaris semua orang sudah minggat. Live music sudah berhenti. Riuh menjelma sunyi. Kecuali satu-dua pengunjung, saat ini, di sini hanya ada aku dan seorang pelayan kafe yang terus-menerus menatap jam dinding dengan bosan.

Di hadapanku dua cangkir kopi sudah kehilangan kepulnya. Kopi di satu cangkir sudah nyaris tak bersisa. Sementara kopi di cangkir lain masih penuh, menanti orang yang akan menyesapnya. Bersama kopi itu ... aku ikut menanti.

Kutatap pramusaji merangkap kasir yang sekarang sedang menatapku dengan nanar serta sedikit ragu-ragu. Mungkin dadanya berkecamuk dengan keinginan untuk mengamuk. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Aku tertawa kecil. Ia tidak bisa mengusirku. Setidaknya, tidak hari ini.

Bukan hanya karena aku adalah seorang pengunjung tetap. Kuharap, manajer kafe sudah mengingatkan ia akan hal itu. Bahwa setahun sekali, setiap tanggal sembilan di bulan Februari akan ada orang aneh yang melakukan reservasi sampai pagi untuk satu meja tepat di samping jendela. Pesanan orang itu hanya dua cangkir kopi. Satu cangkir tanpa gula sama sekali, satu lagi dengan dua sendok teh gula dan satu sendok teh krimer. Selalu sama, tak pernah sekali pun berubah. Seolah itu adalah bagian dari ritual yang sangat sakral.

Agak lama, satu-dua pengunjung yang tadi bertahan menyerah dan pergi. Di sudut ruang kulihat Pramusaji duduk dengan kepala yang terus mengangguk-angguk. Ia juga pergi. Sekarang ... aku benar-benar sendirian, hanya berteman kenangan. Kenangan yang seharusnya sudah mati. Tenggelam dalam deras arus waktu.

Setiap siang di akhir pekan aku selalu datang ke tempat ini. Sekadar menyesap kopi sambil menyaksikan pejalan yang berlalu-lalang. Juga jalan ramai yang perlahan menjadi lengang. Setelah itu aku akan merutuk lalu pergi sambil berjanji untuk tidak akan datang lagi. Namun bodohnya, aku selalu saja kembali. Berulang-ulang kali. Untuk satu alasan yang tak begitu kupahami.

Dan, setahun sekali pada tanggal sembilan di bulan Februari aku tak hanya sekadar singgah kemudian berlalu. Aku ingin bertahan, menunggu selama mungkin. Karena ini adalah tanggal di mana kita pertama dan terakhir kali bertemu. Mungkin saja akan ada keajaiban?

Detik demi detik berdetak. Di luar, rinai turun. Derau mewarnai malam yang syahdu. Hujan. Inilah saat di mana jasad-jasad kenangan yang telah lama mati kembali dihidupkan atau menghidupkan diri. Bagiku jasad-jasad itu selalu mewujud bayang-bayangmu. Bayang-bayang yang terus saja muncul seperti hantu.

Aku menggerutu. Kenapa? Kenapa aku masih terus saja mengingatmu? Kenapa aku masih terjebak pada satu waktu? Terus-menerus, berada di tempat yang sama dengan kaki yang terantai ke tanah. Sebenarnya, apa yang salah? Bukankah seharusnya rasa itu sudah musnah selayaknya penggal kisah yang kita bakar bersama-sama di hari kita memutuskan untuk berpisah?

Lihat selengkapnya