Sebagaimana sayap mengizinkan burung untuk bebas menerabas langit luas tak berbatas ... Layla, seperti itu pula engkau bagiku.
Jika engkau ingin tahu mengapa aku sampai begitu menggilaimu ... aku juga tidak mengerti secara pasti karena bagiku cinta adalah misteri. Meski tentu saja, aku ragu kau akan bertanya. Karena tidak seperti aku yang menganggapmu sayap, anggapanmu terhadapku sungguh berbeda.
Tapi, tidak masalah! Aku percaya sang waktu akan membantu membuka pintu menuju kasihmu. Sekarang, bahkan meski kau kerap mencerca sembari meneriakiku gila ... aku masih akan tetap sama. Aku masih tetap mencintaimu. Malah, suara marahmu yang bagai candu itu akan semakin menambah kadar rasa cintaku. Kau mungkin tidak percaya, tetapi begitulah faktanya.
“Kais? Ia tak lebih dari sekadar pelamun yang majnun!”
Kunafikan pula cercaan dari orang-orang di sekeliling. Kau tahu, Layla? Orang-orang itu ... mereka hanya iri karena aku bisa mencintai dengan sedemikian kuat, sedangkan mereka tidak. Mereka iri karena tidak bisa menggubah puisi seindah puisi-puisi yang kutulis saban aku memikirkanmu.
Hah. Seharusnya kuteriakkan pada orang-orang itu! Bahwa jika mereka ingin mencintai seperti aku mencintaimu, jika mereka ingin menulis puisi seindah yang kutulis untukmu ... maka temukanlah seorang musai!
Ya. Sungguh aku ingin menyuruh orang-orang itu mencari musai mereka sendiri. Agar mereka mengerti kegilaan yang mereka tuduhkan padaku. Agar mereka menjelma seorang majnun yang mampu melukis keindahan melalui puisi penuh cinta.
Tetapi Layla, jika kulakukan itu mereka bisa saja jadi mencintaimu. Sebab itu, aku diam saja dan tak berteriak bahkan saat mereka menyebutku majnun. Bagaimanapun, kau tak boleh jadi musai siapa pun kecuali aku. Orang-orang boleh saja memiliki musai. Tetapi bukan dirimu. Terserah siapa saja musai itu, Layla. Terserah siapa saja asal bukan dirimu! Karena engkau hanya milikku saja.
Hari ini, seperti biasa. Aku kembali berkutat dengan puisi. Puisi-puisiku indah, karena pada mereka keindahanmu termanifestasi. Meski begitu, tak ada satu pun dari mereka bisa melukiskan keindahanmu secara sempurna. Tidak ada kata yang benar-benar tepat. Kurasa aku masih harus mencari dan menguasai lebih banyak kata lagi. Kalau bisa, semua kata di seluruh dunia.
Layla. Kau tahu? Sebenarnya, melalui puisi aku bermaksud membunuh rindu. Tetapi puisi-puisi itu malah membuatku menjadi semakin merindukanmu. Dari hari ke hari rindu itu kian bertambah. Lama-lama ia menjulang sebuah gunung tinggi bernama obsesi. Aku kian terbelenggu. Kini, menebus rindu dengan cara menghidupkanmu melalui puisi jadi tak cukup lagi. Aku benar-benar harus memilikimu.
Maka berbekal tekad kuat, aku nekat mengetuk pintu rumahmu pada satu pagi yang bisu. Kedua orang tuamu terpaku di ambang pintu, menatap tidak percaya saat kuutarakan keinginan untuk memilikimu. Segera setelah itu mereka teriakkan penolakan menggebu. Aku dibiarkan terkatung di luar tanpa sempat melihat wajah indahmu. Mereka bahkan tidak membiarkan kita bertemu.
“Layla! Layla!” teriakku berulang-ulang kali. Sekilas, kulihat wajah penuh pesona menyembul dari balik pintu, menatap dengan raut wajah beku.
“Pergilah! Layla tidak mungkin kami biarkan bersanding dengan seorang majnun!” Lalu bersamaan dengan penegasan itu, orang tuamu membanting pintu tepat di depan wajahku.
***
“Siapa orang aneh itu?”
“Dialah si majnun yang terkenal.”
“Majnun? Dia gila?”
“Ya. Dia gila sejak jatuh cinta. Makin-makin bertambah pula ketidakwarasan lelaki itu saat ia gagal mempersunting gadis impian.”
“Aduh. Begitu ya. Sungguh kasihan.”
Aku sedang mengukir namamu di batu saat kudengar dua orang berbicara tentang kita. Andai saja kau dengar, Layla. Mereka menuturkan pernyataan salah dengan penuh keyakinan. Mereka bilang aku gagal. Padahal, tidak! Aku tidak gagal. Aku yakin, suatu saat kita akan bersama. Kita ditakdirkan untuk bersama. Hanya perlu waktu sedikit lebih lama ....