Beberapa bulan lalu. Pada suatu petang di tanggal yang aku sudah lupa meski waktu belum berlalu begitu lama, setidaknya bagiku.
Hari itu ... waktu seperti berdetak lambat sekali. Nyaris tak bergerak. Kata-kata yang kau umbar menggantung pada dinginnya udara musim penghujan. Kemudian menghilang tak diketahui lagi rimbanya. Yang tersisa dan terus tersimpan di hatiku hanya kata-kata terakhirmu saja. Kata yang akan senantiasa tersimpan hingga kapan pun juga.
Mega, aku akan kembali.
Guncangan demi guncangan membawaku kembali pada kesadaran, pada hari ini. Seketika hatiku dicekit nyeri. Aku hanya bisa termangu saat orang-orang di sekeliling mendekap sembari mengusap-usap punggungku. Tak ada air mata meski aku ingin sekali meneteskannya. Aku terlalu linglung untuk itu.
“Mega. Sabar ya ....”
“Bu Mega harus kuat. Mungkin ini rencana terbaik Tuhan ....”
Aku menunduk, menatap tubuhmu yang terbujur kaku. Sekali lagi ingatanku terlempar ke masa lampau. Pada hari di mana janji itu terlontar.
Mega, aku akan kembali.
Aku menggigit bibir. Getir. Ya. Kau memang kembali, namun saat kau telah pergi. Hanya raga. Sementara jiwamu sudah berada entah di mana.
Kulayangkan pandangan ke arah pintu. Seorang lelaki berdiri di sana, menatapku ragu. Pandangan kami bertemu namun ia buru-buru mengalihkan tatapan. Seolah tertangkap basah melakukan salah.
Aku tidak bisa terlalu lama memerhatikan karena sejurus kemudian pandanganku kian mengabur. Semua yang tadinya abu-abu menjadi hitam. Pekat, tak tersisa setitik pun jejak cahaya.
Samar-samar kudengar tangis Tari. Ia meraung pilu seakan tahu bahwa sang ayah telah pergi untuk selama-lamanya.
* * *
Suamiku yang dulu adalah pekerja keras. Berbulan-bulan ia pergi merantau demi mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Ia rutin mengirimkan surat pada tanggal yang sama setiap bulan, menceritakan kondisinya di sana. Namun beberapa bulan lalu, pada tanggal seharusnya kuterima sepucuk surat ... surat itu berhenti dikirimkan. Untuk selama-lamanya.
Ia adalah seseorang yang begitu lembut dan penyayang. Dan sifat yang paling kusukai darinya itulah yang telah mengantarkan ia menuju gerbang kematian. Ia rela menukar nyawa sendiri demi menolong dalam kebaikan. Paling tidak, itu yang dikatakan Mas Rama. Lelaki yang membawa pulang jasad suamiku beberapa bulan lalu.
“Di hari naas itu, hujan sudah berhenti tapi genangan sungguh menjadi-jadi. Di jalan, sebuah mobil melaju cepat tanpa peduli ... mengotorkan baju yang akan kupakai untuk wawancara kerja.”
Aku ingat menatap Mas Rama dengan penuh ketakutan. Aku tidak ingin mendengarkan lanjutan cerita tersebut, namun satu bagian dari diriku menginginkan kebenaran meski itu menyakitkan. Maka aku mengangkat cangkir kopi, berniat menyesap cairan di dalam sana untuk menenangkan diri.