Entah bagaimana, ketika membuka mata ... saya sudah berada di antara dedaunan yang berguguran. Tanpa ingatan, hanya dibekali kehampaan.
Kersik pelan terdengar saat saya bangkit perlahan-lahan. Sejurus kemudian, saya mulai melangkah menyusuri rimbunnya jenggala. Aroma pinus menguak, memenuhi udara. Kaki saya menyeruak rerumputan dan terus berlari.
Pada satu titik, saya berhenti dan mendongak. Di atas sana langit telah berubah warna. Biru lapis lazuli kini menjelma merah rubi. Sandikala telah tiba. Sebuah pertanda untuk kembali segera.
Sekumpulan burung berwarna kelam mengerubung, membentuk gumpal awan hitam. Saya merinding ketakutan.
Ah. Barusan saja ... adakah terdengar kuak gagak yang nelangsa dan melengking putus asa? Begitu menyayat seperti tangisan.
Lengkingan semakin menyayat. Gegas saya menutup telinga sembari kembali menyusuri rimbunnya jenggala. Kali ini dengan tergesa-gesa. Sesuatu tentang para gagak seolah menyiratkan mara. Maka hanya satu yang saya pikirkan. Pulang ... dan saya akan aman.
Setelah beberapa lama, pemandangan sebuah rumah mungil di tengah hutan menghentikan kaki saya yang lelah berlarian.
Sekeliling rumah itu seperti diselimuti atmosfir menenangkan yang mengundang pulang. Saya merasa seperti sudah mengenal rumah itu sejak lama. Jadi, tanpa ragu saya masuk dan menutup pintu.
Saya mengedarkan pandangan. Rumah ini terlihat seperti sudah sangat lama ditinggalkan dan dilupakan. Namun rasanya ... saya masih memiliki kenangan tentangnya di sudut ingatan. Berada di sini seperti menenggelamkan diri di kubang nostalgi. Terasa nyaman sekali.
Tak lama ... diiringi kabut, kelam datang mengungkung malam. Seperti selimut tipis yang menyejukkan tetapi juga menyembunyikan kengerian.
Angin berdesing. Di luar sana derap langkah menyibak dedaunan kering. Saya terkesiap. Derap langkah itu terasa asing di telinga sehingga ketakutan menyusup ke dalam benak. Saya menyibak tirai. Mengintip takut-takut dari balik jendela.
Mata saya menangkap sesosok siluet yang juga asing.
Dan derap langkah itu mendekat. Semakin dekat dan semakin dekat. Hingga akhirnya berhenti tepat di depan pintu. Sunyi menjalari udara.
“Siapa?” Meski ragu, saya memberanikan diri bertanya.
Sebuah suara menyahut lembut. “Ini aku.”
“Siapa?” Tidak ada jawaban. Saya menunggu. “Apa yang kau inginkan?” Saya kembali melempar tanya.
“Tidakkah kau mengenaliku lagi?” Suara itu dipenuhi ragam emosi. Sedikit mengingatkan saya kepada tangisan gagak tadi.
“Tidak.” Saya tidak ingin menjawab seperti itu, namun apa yang bisa saya ujarkan ketika laci-laci penyimpanan memori di kepala hanya menawarkan satu jawaban? “Saya tidak mengenalmu. Suaramu demikian asing.” Kembali saya menegaskan.
“Begitu. Sedemikian asingkah kita berdua sekarang?”
Pada lirih suara yang merambat di udara saya menangkap kesedihan yang jujur. Kesedihan itu memaksa saya untuk membuka pintu.
Sosok berwajah kabut menyambut. Meski begitu, entah kenapa saya merasa sosok itu memang tidak asing. Mungkin, kami memang saling mengenal. Namun ....
"Apa aku boleh masuk?"
“Ya," kata saya setelah berpikir sejenak. "Masuklah.” Saya mempersilakan.