Pasar Orang-Orang Mati

Jauza M
Chapter #3

Pengembara dan Putri Jelita

Kelabu mendominasi warna sore itu. Seorang gadis berlarian menerobos deras hujan tanpa menghiraukan petir yang bersahut-sahutan. Lalu di tengah padang luas gadis itu berhenti. Napasnya terengah-engah.

Ternyata benar dugaannya. Beberapa waktu lalu saat akan menutup jendela, ia melihat pergerakan di kejauhan. Awalnya ia tidak yakin bahwa sosok yang dilihat adalah seorang manusia. Dari kejauhan sosok itu hanya terlihat seperti noktah atau semacam siluet samar. Cuaca buruk juga benar-benar mengaburkan penglihatan.

Namun setelah pergulatan sengit yang cukup lama dengan dirinya sendiri, gadis itu memutuskan untuk berlari ke luar dan memastikan. Dugaannya terbukti benar. Selagi menuruni bukit, noktah yang tadi ia lihat perlahan membentuk nirmana. Dan kini ... di padang luas, di sebelah kakinya yang gemetar ... terkapar lemah tubuh seorang pemuda.

Gadis itu membungkuk. Sepertinya pemuda itu masih hidup—meski denyut jantungnya begitu samar dan napasnya hampir tak terdengar. Kalau bukan karena erang lirih yang ia keluarkan, pasti gadis itu akan mengira bahwa si pemuda sudah tak lagi bernyawa.

“Tuan? Tuan?” Gadis itu mengguncang-guncangkan tubuh di hadapan. Tidak terdengar jawaban. “Sadarlah!”

Percuma. Usaha menyadarkan pemuda itu sia-sia saja. Setelah beberapa lama gadis itu menyerah dan dengan susah payah ia sampirkan lengan pemuda itu di bahunya. Lalu perlahan-lahan ia mulai berjalan.

Baru beberapa langkah, ia sudah merasa lelah. Sekarang tidak mungkin mendaki bukit sambil membawa si pemuda. Mereka berdua akan tergelincir dan berakhir tidak bisa bergerak sama sekali.

Gadis itu menoleh ke samping. Seingatnya ada sebuah lumbung di hutan dekat sini. Ia harus mencari tempat perteduhan. Sebab deras hujan tak akan membuat mereka berdua bertahan.

Kelam datang, menyerap segala warna hingga nyaris tandas seluruh cahaya. Lumbung yang ia cari belum juga ditemukan. Padahal seingatnya tidak sejauh ini. Berapa lama lagi ia harus berjalan?

Gelegar membahana. Kilatan demi kilatan seolah membelah angkasa. Ia merundukkan kepala sambil berusaha sekuat mungkin mempercepat langkah.

Kilat kembali menyapa. Dan saat itulah ... ia melihatnya. Syukurlah! Lumbung itu sudah hampir di depan mata.

* * *

Pemuda pengembara membuka mata. Tubuhnya mulai diselimuti kehangatan. Samar-samar ia bisa mencium aroma kayu bakar menguar dari perapian. Ia baru saja akan bangkit berdiri ketika seorang gadis berwajah jelita berlari menghampiri.

“Tuan! Syukurlah Anda sudah sadarkan diri. Saya takut sekali. Saya kira Anda akan mati.” Gadis itu terlihat khawatir.

“Apa ... yang terjadi?”

“Itulah yang ingin saya tanyakan. Dari kejauhan saya melihat Anda berjalan linglung seolah tanpa tujuan. Cuaca buruk mengaburkan penglihatan sehingga saya tidak benar-benar yakin pada apa yang saya lihat. Saya mencoba memerhatikan. Siluet Anda, Tuan Pengembara, terlihat sangat rikuh lalu ambruk tak berdaya ke tanah. Saya lekas pergi untuk memastikan. Dan saat itulah, Anda saya temukan.”

Pengembara mengusap kening. Sesuatu menyadarkan ia hingga raut wajahnya berubah seketika. Gadis itu menyadari.

“Apa yang membuatmu demikian merana, wahai Tuan Pengembara?” Gadis itu menatap Pengembara tepat di manik mata. “Dan mengapa engkau mengembara pada saat yang bukan musimnya? Padahal rerumputan telah mati di pinggir danau dan burung-burung pun enggan berkicau. Lihatlah penuh lumbung tupai sebab usai musim menuai, pertanda musim badai mulai menyemai.”

Pengembara masih diam tanpa kata. Larut dalam kelindan pikiran.

Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Tuan Pengembara?” ulang gadis itu. “Pelupuk matamu seperti lara yang mengendap pada embun bunga lili. Sementara pipimu seperti rona mawar yang layu dan memudar.”

Pengembara memejamkan mata sembari menarik napas panjang. “Suatu hari ... di sebuah padang luas, Nona, aku bertemu seorang gadis cantik jelita. Ia demikian memesona dengan rambut panjang, kaki jenjang, serta binar mata riang. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.”

Pengembara membuka mata dan menatap hampa. Menerawang ke suatu tempat nun jauh di sana. “Untuknya kurangkaikan bunga-bunga sebagai mahkota. Tak lupa kubuatkan juga gelang beberapa—hingga tubuhnya semerbak dengan aroma manis bunga. Sambil menatap penuh cinta, ia menggodaku dengan suara indahnya. Kami tertawa bahagia. Kuangkatkan tubuhnya ke kuda. Setelah itu kami mengembara, entah berapa lama. Tak kuperhatikan sepanjang jalan sebab Sang Jelita terus melirik mataku, memikatku dengan nyanyian merdu.”

Gadis itu menunggu. Ia bisa melihat ketakutan berkilat-kilat di mata Pengembara.

“Akhirnya, Nona ... setelah beberapa lama kuda kami berhenti. Sang Jelita membungkuk dan turun dengan anggunnya lalu pergi entah ke mana. Aku terpaku, menunggu. Kukira ia akan meninggalkanku. Tetapi sesaat kemudian ia kembali sambil membawakan umbi-umbian serta madu hutan. Ah. Juga amrita—minuman surga! Setelah itu, dalam bahasa yang tak pernah kudengar sebelumnya ia bisikkan padaku ungkapan cinta yang menggelora.

Lalu dengan lembut ia menggandeng tanganku, bersiap menuntunku menuju dunia para peri. Seolah terhipnotis, aku mengikuti. Namun belum jauh kami berjalan tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Hela napasnya berat sebab di sana menggantung duka. Ia mulai menitikkan air mata. Sungguh aku tak sanggup melihatnya, Nona! Maka kuciumi matanya sampai ia kembali gembira.

Lihat selengkapnya