Malam ini, entah kenapa sunyi begitu keras meneriakkan gaungnya. Di persimpangan jalan yang sekarang tidak lagi bersimpang, Penjaja Cermin duduk termangu. Menatap sendu langit berjelaga, menanti pagi yang tak kunjung datang ke kota ini.
Penjaja Cermin menggerutu lagi dan lagi. Bagaimana tidak. Entah sudah berapa hari ia lalui. Sudah cukup lama ia terkatung-katung menanti. Namun di kota ini ... sama seperti cahaya tak mampir ke mata semua penduduknya yang buta, cahaya juga urung memenuhi langit kota.
Dalam perjalanan menjajakan cermin, ia sampai ke sini. Penjaja Cermin sudah sering mampir ke berbagai kota yang penuh dengan keanehan. Kota yang terus-menerus diguyur hujan tanpa henti, kota yang terus-menerus terang oleh pagi, kota yang penduduknya gila semua, kota yang penduduknya tuli semua dan juga kota-kota ganjil lainnya tetapi semua kota itu hanya memiliki satu keganjilan saja.
Ya. Baru kali ini Penjaja Cermin sampai di kota yang keganjilannya sekaligus dua. Kota yang semua penduduknya buta dan langitnya urung disinari cahaya. Hanya ada gelap, gelap dan gelap saja.
Napas Penjaja Cermin kembali terhela. Hah. Apa gunanya menjajakan cermin di kota yang semua penduduknya buta dengan langit yang juga tak disinari cahaya? Ia harus pergi. Ya, pergi. Itulah yang ingin ia lakukan. Namun ... ketika kembali ke persimpangan jalan tempat ia datang, secara ajaib jalan itu menjadi tak lagi bersimpang. Sebagai ganti, sekarang ada sebuah tembok yang menjulang tinggi sekali.
Sungguh, Penjaja Cermin menyesal telah berbelok ke kiri. Seharusnya saat ia dihadapkan pada dua persimpangan, ia memilih berbelok ke kanan, arah yang akan membawanya ke kota berbeda. Atau setidaknya ia bisa kembali ke belakang, ke tempat ia sebelumnya datang. Tapi saat itu ia tidak tahu kalau dirinya akan sampai di kota seperti ini. Jika ia tidak tahu, bagaimana ia bisa tahu?
Penjaja Cermin tak henti bertanya pada diri, apa yang akan ia hadapi saat ini jika memilih jalan yang satunya. Apakah sama? Hah. Jika saja ia bisa membelah diri seperti ameba, mungkin ia bisa menjejaki dua tempat berbeda di waktu yang sama dan merasakan kemungkinan yang ia pertanyakan.
Penjaja Cermin menunduk dalam-dalam. Benci. Sungguh benci. Ia tidak terbiasa dengan gulita. Maka ketakutan menggerogoti hingga ia bergidik ngeri. Bagaimana jika ia harus tinggal selama-lamanya di sini? Air mata tergenang di kedua pelupuk mata sementara ia meratapi kesialan diri. Ia tak tahu harus berbuat apa. Di tengah kegalauan itu, sebuah suara mengagetkannya.
“Tuan, apa yang kau lakukan di sini?”
Penjaja Cermin tersentak dan langsung menoleh. Di remang sana berdiri seorang gadis berjubah merah darah. Kedua mata gadis itu terbuka. Dan ia memegang lentera kaca yang di dalamnya bergerak-gerak surai api.
“Kau tidak buta?” Penjaja Cermin menatap heran. Sejauh ini, gadis itu orang pertama yang ia lihat memiliki mata terbuka.
“Tidak, aku buta.”
“Lantas kenapa bisa melihatku?”
“Semua penduduk kota saling menyadari keberadaan satu sama lain, Tuan. Di bawah langit ini kita semua terkoneksi."
“Kau penduduk kota?”
“Bukan.”
“Lalu kenapa buta seperti mereka?”
“Karena sudah terlampau lama di sini. Lama-lama aku ikut buta. Kau juga akan mengalami itu, Tuan. Segera.”
Kata-kata gadis itu bagai pedang yang menebas harapan sekaligus utas saraf kewarasan terakhir yang ia miliki. Penjaja Cermin berteriak histeris. Menangis sejadi-jadi.
“Oh, Tuhan. Apa yang harus kulakukan?”
“Kau tidak harus melakukan apa-apa, Tuan. Karena kau tidak bisa melakukan apa-apa.”
“Diam!" sergah Penjaja Cermin cepat. "Pasti ada yang bisa kulakukan! Aku akan pergi!”
“Tidak! Tidak ada yang bisa kau lakukan, Tuan! Aku sudah mengalami hal yang sama. Segera setelah kita sampai ke sini, sebuah tembok terbentuk, menjulang tinggi. Mencegah kita untuk pergi. Kita terperangkap di sini!”
“Jika begitu ... kenapa masih ada saja yang bisa sampai di kota ini? Seharusnya, sebagaimana tembok itu mencegah kita untuk pergi, tembok itu juga mencegah orang lain untuk sampai ke sini.”
“Soal itu, aku tidak tahu. Aku buta bahkan meski tidak menutup mata. Wajar kan kalau aku tidak tahu apa-apa.”
Penjaja Cermin menggeleng frustasi. Ia ingin mencekik diri sendiri agar terbangun dari mimpi buruk ini.