Akhirnya tiba lah saat-saat aku berkesempatan menikmati indahnya pergi berdua bersama orang yang aku suka. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku melakukannya. Sepertinya memori di otakku terseleksi dengan sendirinya, sehingga kenangan aku berkencan tidak bisa ditemukan. Atau sepertinya memang aku ragu pernah melakukannya.
Selepas sholat isya, aku berpamitan kepada bapak dan ibu, lalu aku bergegas menjemput Nisa di rumahnya. Akan aku kebut motor bebek pemberian bapakku dengan sekencang-kencangnya. Lagi-lagi kesan pertama tidak boleh buruk, telat semenitpun bukan toleransi yang baik bagi seorang cowok jantan.
“Ati-ati le, salam buat Nisa dari ibu. Kapan-kapan ajak Nisa ke rumah, biar ibu masakin soto ayam kesukaanmu”, ucap ibu ceria, yang hanya aku jawab dengan senyum tipis.
Selama di perjalanan, tidak henti-hentinya aku senyum-senyum sendiri. Mungkin ketika orang lain melihatku di jalan, mereka seperti berpikir dalam hati, ‘Orang ini nggak waras, senyum-senyum nggak jelas’. Tetapi aku tidak mempedulikannya, karena aku sedang dimabuk asmara.
Jalanan yang aku lewati menuju ke rumah Nisa serasa terang benderang. Entah lampu apa yang digunakan untuk menerangi jalanan malam ini jadi seterang ketika pagi hari, pikirku.
Ketika aku melewati warung, kedai makanan, penjual sate, cilok, nasi goreng, abang-abang pengamen, pak ogah, lampu merah, layaknya sedang memainkan orkes lagu Sheila on 7. Melodi-melodi indah tentang cinta berputar-putar di kepalaku.
Sifatmu nan selalu, redakan ambisiku
Tepikan khilafku, dari bunga yang layu