"Siap, Komandan!" suara berat yang disuarakan oleh ketujuh abdi negara dengan wajah berpeluh penuh ditatap langsung sang mentari yang dengan terik menyuarakan semangat yang tidak juga pudar. Dimulai dari berlari dan merangkak dibawah pagar besi berduri bersenjata lengkap, diikuti menyerang sebuah patokan ban yang dirangkai seperti tubuh manusia dengan tiga kali pukulan dan memanjat tebing. Lecet pada telapak tangan dan keram pada kaki tidak juga menjadi halangan akan tugas pelatihan militer. Semangat itu membara karena kebanggan yang diemban pada pundak, kebanggan yang sudah didambakan sebagai impian.
Setelahnya, permainan senioritas pada kemiliteran mulai terlihat, dimana para junior yang dalam posisi kaki menekuk dan tangan diluruskan setinggi dada pula helm militer yang diletakkan diatas tangan. "Posisi, siap! Hei.. kamu," suara itu menggema, tatapan tajam tepat mengarah pada seorang yang ada diujung dengan kening dipenuhi peluh.
"Tantama, Mahawira Pradipa. Siap, Pak!"
"Jangan gemetar, kamu seorang Tentara! bagaimana bisa kamu terseleksi? Lemah."
Toyoran pada kepala didapati, cekikikan tawa mengejek yang bersuara dari para senior terdengar begitu renyah pada telinga mereka yang berposisi sebagai Junior. Dada naik-turun akibat nafas yang sudah tidak teratur sebab lelah, atau mungkin emosi akan senioritas kedisiplinan yang dianggap konyol. Namun, tidak ada yang bersuara semuanya tertahan pada ujung tenggorokan dan lidah.
Sikap heroik hanya akan membuat semuanya menjadi lebih kacau. Tetapi tetap saja sikap otoriter yang dilakukan para senior tidak bisa hanya dierima begitu saja.
Kebisingan Kantin militer itu tidak dapat dielakan, berbeda dari mereka yang baru saja duduk setelah pelatihan siang tadi yang sama melelahkan seperti kemarin-kemarin. Hening menyeliputi kelompok itu dengansedikit bisik-bisik yang dilakukan dua orang diujung meja sana.
"Pstt.. Mahawira," suara itu terdengar sayup tenggelam dalam kebisingan yang tidak juga reda.
"Mahawira..." bisik yang sedikit lebih dilantangkan itu membuahkan hasil, lelaki yang merasa namanya disebutkan itu menatap bingung kepada sumber suara.
"Iya, Kamu. apa kamu tahu siapa aku? ah, tapi itu tidak penting. Sepertinya kamu sudah menjadi target Senior Djaja dan itu sudah keterlaluan. Apa kamu tidak ingin melaporkan tindakan itu?"
"Untuk apa? bukannya seniorita seperti ini sudah biasa di wilayah militer?"
Sang lawan bicara menghela nafas berat, "Walau begitu, tindakannya sudah sangat keterlaluan, ayo kita lapor-" percakapan itu terpotong akan sebuah panggilan.
"Bersiap, Unit Elang!"
"Siap, Komandan!" suara serentak itu sedikit mengintrupsi kebisingan kantin militer.
Pelatihan kali ini ketujuh abdi negara itu sudah dilengkapi alat keselamatan, parasut juga senjata. dengan kesiapan mereka dalam posisi siap seperti yang diperintahkan oleh komandan. diatas udara dengan sebuah helikopter dapat terlihat di bawah sana lapangan pelatihan militer.
"Baik, kali ini pelatihan untuk menuruni tangga di udara. ketinggian antara ujung tangga dan permukaan hanya berjarak dua meter, ingat setiap langkah harusdilakukan dengan yakin dan tanpa ragu. Dimulai dari barisan depan. Kalian mengerti?!"
"Siap, Komandan!"
Satu persatu dari mereka menuruni tangga dengan tanpa kesalahan sedikitpun. Tiba-tiba seorang kehilangan keseimbangan karena langkah pada satu tangga yang sedikit tergelincir. Tatap khawatir tidak luput dari setiap anggota yang menyaksikan itu. Sampai akhirnya berhasil menyesuaikan langkah dan berakhir dengan aman.
Pelatih itu terus dilakukan berulang kali hingga hari menjelang gelap, matahari mulai termkakan gelapnya malam.
Keadaan kamar militer itu cukup tenang samapi suara pintu terbuka memperlihatkan para senior yang masuk dengan wajah tegang, "Semuanya pada posisi siap!" teriak senior Djaja.