Apakah kau tahu jika desa tempat Khass tinggal adalah yang terbaik di dunia? Jika belum, mendekatlah ke jendela-jendela tanpa kusen itu! Namun, berhati-hatilah, jangan terlalu dekat dengan Khass. Bocah itu sedang sibuk dengan Kamitua. Mungkin sekitar tujuh belas cambukan lagi dan dia akan menghampirimu.
Mari, alihkan perhatian dari Khass sejenak. Rasakan embusan angin yang sedari tadi mengelus pipimu. Hirup dalam-dalam oksigen murni yang akan membuat kepalamu pusing. Lubang hidungmu kembang kempis dalam kebahagiaan, bulu-bulu hidung menari dalam kegembiraan karena bahkan tak ada polusi sedikit pun pada udara itu! Astaga, bibirmu secara otomatis tersenyum lebar merasakan ini. Udaranya memang dingin, tapi kau tidak butuh mantel. Perut kembung yang akan kau rasakan tidak sebanding dengan kejernihan udara ini. Kapan lagi kau diizinkan masuk ke desa perguruan tanpaku?
Sekarang, bersandarlah pada dinding batu yang dingin. Kau tak perlu mengintip, cukup renggut pemandangan di balik jendela dengan matamu yang lebar. Saksikan hamparan hijau kekuningan bagai ombak tsunami yang membeku. Gemerisik dedaunan dan kicau burung seperti kasak-kusuk yang lebih berisik daripada erangan tertahan Khass di sampingmu. Oh, jangan! Jangan menoleh dulu. Biarkan anak itu menerima cambukan keempat puluhnya. Sebentar lagi dia akan selesai.
Hamparan hutan berakhir pada garis perak yang mengular di kaki bukit. Matahari tampak putih dari sini, dan tak lebih panas daripada di luar hutan. Pantulannya sangat lemah pada sungai serupa kaca beriak. Kabut tipis memenangkan sinarnya, dan kenyataannya, kabut tak pernah sekali pun beranjak dari desa ini.
Kemudian ... ah, sepertinya kau tidak bisa menikmati lebih lama lagi. Erangan lirih Khass lebih mengusikmu daripada apapun. Sayang, padahal si bocah berusaha kuat untuk menempatkan seluruh perhatiannya pada langit biru pucat di luar jendela. Kedua tangan mungilnya menapak pada lantai batu. Ujung-ujung jarinya memutih, dan giginya menggigit bibir bawah sedikit terlalu kuat. Ada noda merah di bawah gigi taringnya.
"Jangan diam saja, Khass. Apa yang kau lihat?"
"Hutan—ciptaan Tuhan—sangat inda—AH!" Khass berjengit saat Kamitua mengeraskan cambukannya. Dia cepat-cepat melanjutkan sebelum Kamitua menyadari erangannya, "Tuhan ... memberkati kita dengan ... dengan nikmat yang banyak ...."
"Bicaralah yang jelas, Nak."
Khass menahan napas. "Aku tidak akan menyia-nyiakan pemberian Tuhan dengan berbuat buruk!"
"Sebut kesalahanmu."
"Aku tidak akan membuang makanan lagi! Jika aku membuangnya, aku akan mengaisnya, mencucinya, dan memakannya kembali."
Cambukan terakhir mendarat pada pinggangnya. Kamitua melempar tali tambang berserabut kasar ke lantai, lantas menarik sarung Khass kembali ke posisi semula. Bocah itu masih tidak bergerak dari pangkuan sang ayah.
"Jangan lupakan tugas terakhirmu, Nak. Sampai saat itu, aku tidak ingin melihatmu berkeliaran. Kau bukan murid biasa. Kau anakku; putra kepala Guru dan kepala desa, maka jadilah contoh sebaik-baiknya untuk kawan-kawanmu itu."
"Baik, Kamitua."
Tidak merespon suaranya yang serak, Kamitua mendorong tubuh Khass agar berdiri. Beliau pergi tanpa mengatakan apa pun. Suatu hal yang sebenarnya menyedihkan, tapi sangat Khass butuhkan saat ini. Air matanya mengalir deras saat gesekan sandal kulit Kamitua tak terdengar lagi.
"Hei, Khass. Kau di situ?" seseorang bersuara dari arah luar ruangan. Khass cepat-cepat menyeka air mata. Oh, tidak. Dia kenal suara itu. Gawat! Merah di pipi dan hidungnya takkan bisa hilang semudah menghapus tangisan!
Tanpa menunggu Khass merespon, seorang remaja menyembul dari balik pintu. Rambutnya kemerahan dan kedua matanya sepucat wajahnya saat melihat keadaan Khass. Dia bergegas masuk dengan sebuah kotak kayu dan gulungan perban.
"Demi Tuhan, suara cambukannya terdengar sampai luar menara. Teman-teman ingin menemuimu, tapi mereka tidak berani kalau Kamitua masih berkeliaran. Mereka sangat menyesal."
"Tidak apa-apa, Amar." Keduanya segera duduk di bawah jendela, sebisa mungkin menghindari embusan angin yang bakal menyayat luka basah di pinggang Khass. Amar dengan lihai segera merawat luka-luka yang melintang di punggung bocah itu.
"Sumpah, aku tidak menyangka beberapa potong asparagus sisa bisa membuatmu mengalami ini."
"Jangan bersumpah."
"Ya Tuhan, keselip. Maksudku, aku benar-benar tidak menyangka. Kau masih sepuluh tahun. Apakah hukuman cambuk itu tidak boleh diganti sesuatu yang lebih manusiawi?"
Khass terdiam agak lama, dan Amar menyadari suaranya nyaris menghilang saat menjawab. "Jangan manja. Sekali salah memang salah. Hukumannya sudah begitu, kalau dikurang-kurangi nanti tidak menimbulkan rasa kapok."
"Bung, kau sudah paham bahwa itu salah, jadi bukankah hukuman yang lebih ringan takkan membuatmu mengulanginya lagi? Ini keterlaluan."
"Amar, kalau kau belum tahu, itu sudah tertulis di Aturan Kitab. Setelah ini kau jadi Guru Muda, aturan hidupnya berbeda dengan orang-orang awam. Kau harus taat, tidak bisa kasih kendor kayak mereka."